
Membuka kembali ingatan-ingatan usang kita tentang sejarah perjalanan kebangsaan Indonesia melalui lembaran-lembaran yang sering diajarkan oleh guru di sekolah dahulu, istilah divide et impera bukanlah konsep yang asing. Ini adalah sebuah strategi politik yang menggambarkan cara para pedagang dan kekuatan Eropa memecah belah kekuasaan lokal di kepulauan Nusantara menjelang akhir abad ke-17. Kepulauan Nusantara yang kelak dikenal sebagai Kepulauan Hindia merupakan deretan pulau tropis yang menjadi sumber komoditas rempah paling berharga pada masa pelayaran dan perdagangan global Eropa.
Kepulauan ini terdiri dari berbagai kerajaan berdaulat yang telah lama menjalankan roda perekonomian melalui sektor agrikultur. Produk-produk agraris tersebut diperjualbelikan kepada para pelancong dan pedagang asing yang singgah setiap musim pelayaran. Pelabuhan Kesultanan Malaka, salah satunya, merupakan negeri yang menguasai jalur sutra maritim strategis yang menghubungkan kepulauan rempah dari Samudra Pasifik hingga ke Lautan Hindia. Malaka selalu diuntungkan oleh masifnya lalu lintas kapal dagang yang singgah di pelabuhannya. Tidak hanya meraih keuntungan dari perdagangan rempah, Malaka tumbuh menjadi negara kuat melalui pungutan pajak terhadap para pelayar tersebut.
Di sebelah timur Kepulauan Rempah berdiri Kesultanan Ternate dan Tidore dua negara dengan produksi pala dan cengkeh terbesar di dunia. Komoditas inilah yang menjadi incaran utama pedagang Eropa sejak abad ke-17 dan memicu gelombang ekspedisi menuju kawasan timur Nusantara. Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar) pun berkembang menjadi bandar besar yang menyokong perdagangan rempah selama berabad-abad, terutama dari Ternate dan Tidore. Kapal-kapal Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, hingga Denmark tercatat meramaikan perdagangan di pelabuhan Makassar, sekaligus berkontribusi pada peningkatan kekuatan maritim Makassar.
Para pelayar Eropa yang awalnya datang demi kepentingan dagang, kemudian terseret dalam persaingan antarkekuatan Eropa sendiri. Keberhasilan Vasco da Gama serta ekspedisi Portugis dan Spanyol, diperkuat Traktat Tordesillas, membawa wawasan baru tentang navigasi menuju Kepulauan Rempah. Perlahan, pelayar Inggris, Belanda, dan Prancis mulai menancapkan pengaruhnya di wilayah yang baru mereka singgahi.
Posisi Portugis sempat berjaya setelah penaklukan benteng Kesultanan Malaka oleh armada Afonso de Albuquerque pada 1511. Namun hadirnya bangsa Eropa lain yang memiliki modal besar mendorong Portugal terseret dalam pusaran konflik kepentingan global yang berujung kekerasan di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Kerajaan-kerajaan lokal menyaksikan kapal-kapal Eropa saling menembakkan meriam di perairan mereka.
Banyak kerajaan lokal memanfaatkan permusuhan Eropa demi menghadapi musuh regional mereka sendiri.
Misalnya beberapa tokoh Maluku yang tidak senang dengan Portugis meminta bantuan Belanda, dengan imbalan monopoli cengkeh. Namun penduduk Banda memiliki sistem berbeda mereka meminta pembayaran di muka. Akibatnya, ketika terjadi gagal panen, mereka terseret hutang dan terpaksa mencari pedagang Eropa lain yang mau membeli hasil mereka.
Keadaan ini membuat para direktur VOC di Amsterdam murka dan menginisiasi ekspedisi militer yang berakhir kelam dalam sejarah Kepulauan Banda.
Menurut penelitian Bernard H. M. Vlekke, tidak jarang para penguasa lokal menarik kekuatan Belanda dalam konflik yang mereka hadapi, dengan imbalan konsesi wilayah atau monopoli produk. Di Jawa misalnya Sultan Mataram Amangkurat I meminta bantuan Belanda menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Putra mahkotanya kemudian melakukan hal serupa dalam perebutan tahta, di mana Pangeran Puger memperoleh dukungan Belanda dengan imbalan tanah, yang kemudian melemahkan ekonomi Mataram.
Di barat Nusantara, Kesultanan Banten mengalami situasi serupa. Sultan Ageng Tirtayasa harus menghadapi perlawanan putranya sendiri, Sultan Haji, yang baru pulang dari ibadah haji dan menyadari kekuatan VOC di Batavia. Sultan Haji ingin menjalin hubungan dengan Belanda, namun ayahnya memilih bersikap netral. Ketidaksepahaman ini memicu perang saudara yang berlangsung pada 1680–1682.
Sultan Haji dan pengikutnya kemudian meminta bantuan VOC. Dengan persenjataan modern, ia berhasil melengserkan ayahnya pada 1682, dan Belanda mendapatkan hak monopoli lada di pelabuhan Banten. Akibatnya, pelabuhan yang sebelumnya ramai berubah sepi di akhir abad ke-17.
Tampaknya para raja lokal belum mempertimbangkan risiko dari mengundang kekuatan Eropa ke dalam konflik domestik. Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker (1653–1678) sebenarnya menolak keterlibatan Belanda dalam perang lokal. Namun setelah ia lengser, VOC mulai menerima tawaran-tawaran tersebut demi keuntungan ekonomi.
Di Sulawesi, perang antara orang-orang Bugis pimpinan Arung Palaka melawan Kesultanan Makassar memberi peluang bagi VOC untuk terlibat. Belanda, bersama pasukan Ambon, membantu pengepungan Makassar hingga Kerajaan itu runtuh melalui Perjanjian Bongaya (1667). Arung Palaka yang ingin membebaskan rakyat Bugis dari penindasan Makassar menjadi tokoh penting yang meminta dukungan militer Belanda. Sejak itu, orang-orang Bugis dan Maluku turut berperang di berbagai front bersama VOC.
Dari rangkaian peristiwa tersebut, kita melihat bagaimana kerajaan-kerajaan lokal membuka pintu bagi kekuatan Eropa untuk masuk ke dalam pusaran konflik kepentingan. Tidak hanya Belanda Kesultanan Aceh pernah mengirim surat ke Turki, Ternate meminta bantuan Belanda menghadapi Portugis, hingga Sultan Agung Mataram yang pernah mengupayakan aliansi dengan Portugis untuk menyerang Batavia.
Praktik meminta kekuatan asing ini terus diwarisi para penerusnya dalam perang suksesi Jawa dan berbagai konflik regional lain. Ongkos politiknya mahal bukan hanya melemahkan kerajaan lokal, tetapi juga memperkuat pijakan Eropa untuk memainkan politik divide et impera pada masa-masa berikutnya.
Dengan demikian, meskipun divide et impera sering dilekatkan kepada strategi Belanda, sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan Eropa juga diperkuat oleh undangan, konsesi, dan persekutuan yang diberikan oleh para bangsawan lokal sendiri.
Referensi
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Samsudin Berlian (Jakarta: KPG, 2008).
Philip Bowring, Nusantaria: Sejarah Global Nusantara, terj. An Tbuscunil (Jakarta: KPG, 2023).
Simon Kemper, Warbands on Java: A Military History of Dutch-Indonesian Conflict, 1945-1949 (Copenhagen: NIAS Press, 2023).
