Seragam Hijau, Cap Merah

Pada 24 Desember 1967, Surabaya menyambut kelahiran seorang bayi laki-laki bernama Wahyu (58). Di tengah keluarga kecil itu, kebahagiaan bercampur dengan kehilangan. Sukesi, sang ibu, melahirkan tanpa didampingi suaminya. Bukan karena sang ayah gugur di medan perang, melainkan karena ia dikurung sebagai tahanan politik.

Ayah Wahyu, Sucipto, adalah seorang perwira TNI. Hidupnya dibangun dari disiplin dan pengalaman panjang sebagai pejuang. Ia pernah ikut bertempur dalam Revolusi 10 November, melanjutkan pertempuran ke Maluku, hingga menghadapi pemberontakan Permesta di Manado. Namun pada pertengahan 1960-an, sejarah mengambil alih hidupnya. Sebuah tuduhan cukup tanpa bukti menjerumuskannya ke penjara.

Ayah yang Disebut “Sedang Bertugas”

Sejak kecil, Wahyu percaya bahwa ayahnya seorang tentara yang tengah bertugas di Malang. Setiap bulan, ibunya membawanya ke Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Di balik pagar tinggi, ia bertemu dengan sosok yang selalu ia rindukan.  Mereka berbicara sebentar, dalam suasana yang tak pernah ia pahami. Baru belakangan, setelah beranjak remaja, Wahyu menyadari tempat itu bukan barak militer. Itu adalah penjara.

“Bapak saya dituduh karena menolak mempidanakan anak buahnya,” kenang Wahyu dalam sebuah wawancara. Saat itu, Sucipto enggan menyerahkan pasukannya yang mendapat tugas ke Jakarta untuk diadili. Bagi seorang komandan, anak buah adalah tanggung jawab. Namun sikap keras kepala itu justru menjadi bumerang.

Konflik pribadi dengan atasan mulai dari sengketa rumah dinas hingga gesekan di tubuh kesatuan memperkuat posisinya sebagai sasaran. Di masa ketika tuduhan lebih keras daripada kebenaran, Sucipto cukup disebut “terkait PKI” untuk dijebloskan ke balik jeruji.

Sukesi: Ibu yang Bertahan Sendiri

Di luar tembok penjara, Sukesi berjuang sendirian. Ia seorang hakim muda, cerdas, dan disegani. Namun statusnya sebagai istri seorang tahanan politik membuat jalannya terjal. Ia tidak pernah bisa naik menjadi Kepala Pengadilan Negeri bukan karena kurang kapasitas, melainkan karena bayangan stigma yang melekat pada keluarganya.

Meski begitu, Sukesi tidak menyerah. Ia menyusun strategi agar anaknya tidak terjebak stigma serupa. Dalam dokumen kependudukan, ia memastikan Wahyu terbebas dari kode-kode yang bisa menandai anak seorang “tapol.” Sementara dirinya sendiri harus menerima kenyataan bahwa karier dan ruang sosialnya mandek.

“Ibu saya itu pintar sekali menyiasati dokumen. Kalau tidak, mungkin saya tidak bisa sekolah dengan tenang,” ujar Wahyu.

Namun di balik kekuatan itu, ada getir yang selalu ia bawa. Sukesi hidup dalam bayangan ancaman. Rumah dinas yang mereka tempati pun tidak sepenuhnya memberi rasa aman. Ia tahu, sewaktu-waktu stigma bisa menjelma menjadi pengawasan, bahkan intimidasi.

Mewarisi Bisikan, Bukan Cerita

Wahyu baru benar-benar memahami kisah keluarganya ketika SMA. Dari sebuah surat pembebasan yang ditandatangani mantan Gubernur DKI, ia tahu ayahnya bukanlah tentara yang sedang bertugas, melainkan tahanan politik yang dikurung tanpa pengadilan.

Sebelumnya, cerita tentang ayahnya lebih banyak hadir dalam bisikan. Ibunya tidak pernah gamblang bercerita, hanya memberi potongan-potongan ingatan yang penuh luka. Dari keluarga besar pun, kisah itu lebih sering ditutup rapat.

“Ada semacam rasa malu, atau mungkin takut. Yang saya dengar, lebih banyak berbisik-bisik,” kata Wahyu.

Bisikan itu pula yang membentuk cara Wahyu memandang sejarah. Ia tumbuh dengan dua wajah ayah: seorang tentara pejuang yang loyal pada negara, sekaligus seorang tahanan politik yang dijatuhkan oleh negara yang sama.

Meski hidupnya direnggut, Sucipto masih sempat menunjukkan sisi keberaniannya. Saat arus penangkapan meluas, ia justru melindungi kerabat dari pihak istri yang terlibat dalam organisasi kiri. Dengan posisinya sebagai tentara, ia berusaha meloloskan ipar agar tidak ikut terhantam gelombang pembantaian.

“Bapak itu bukan PKI, tapi ia tetap berusaha menyelamatkan orang lain,” cerita Wahyu. “Itu membuat saya selalu percaya, beliau seorang yang teguh.”

Di tengah kecurigaan yang membabi buta, langkah itu bukan hanya berani, tapi juga berisiko. Namun bagi Sucipto, menjaga nyawa orang lain tetap bagian dari sumpah seorang tentara.

Perjuangan yang Sia-sia

Setelah reformasi, pintu demokrasi sedikit terbuka. Bersama kelompok eks-militer korban 1965, Sucipto berusaha memperjuangkan haknya kembali. Mereka mendatangi kementerian, menyurati pejabat, mencari keadilan yang ditunda puluhan tahun. Namun perjuangan itu tak membuahkan hasil.

Hidupnya berakhir tanpa pemulihan nama baik, tanpa pengakuan negara. Pada tahun 2000, Sucipto meninggal. Hanya tiga bulan berselang, Sukesi menyusul. Dua sosok yang pernah berdiri tegak melawan stigma itu pergi, meninggalkan luka yang diwariskan pada anaknya, Wahyu.

Wahyu menuturkan kisah ini bukan untuk membuka aib, melainkan untuk mengingat. Ia ingin generasi berikutnya tahu bahwa sejarah bukan hanya soal peta politik atau angka korban. Sejarah juga hidup di ruang makan keluarga, di bisikan yang diwariskan, di dokumen kependudukan yang dimanipulasi agar anak bisa sekolah.

“Kalau saya tidak cerita, siapa lagi?” katanya pelan.

Kisah keluarga Sucipto adalah satu dari ribuan yang terkubur dalam narasi besar 1965. Sebuah catatan tentang ayah yang kehilangan kebebasan, ibu yang bertahan dengan kecerdikan, dan anak yang tumbuh dengan kebingungan sebelum akhirnya berani menyuarakan kebenaran.

Sejarah resmi mungkin hanya menyebut angka, tapi di balik angka itu ada wajah-wajah. Ada Wahyu, ada Sukesi, ada Sucipto keluarga kecil yang pernah menjadi korban, tapi juga saksi, dari sejarah yang berbisik.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *