“Rista: Anak di Titik Persilangan Sejarah”

Rista tumbuh di Surabaya, di persimpangan keyakinan dan sejarah keluarganya. Ia lahir dari pasangan dengan latar belakang berbeda.  Ibunya berasal dari keluarga sederhana dari desa kecil, sementara ayahnya adalah anak seorang tentara yang menjunjung disiplin militer. Sejak kecil, rumahnya dipenuhi nilai keras yang diwariskan kakeknya, meski sang kakek sudah wafat ketika Rista berusia empat tahun. Namun, doktrin itu tetap dilanjutkan oleh ayah Rista.

Ayah Rista, yang gagal menjadi tentara karena aturan kala itu, menyalurkan ketidakcapaiannya pada dunia militer dengan menyanjung sang ayah. Setiap cerita masa kecil Rista dipenuhi kisah seragam, pengabdian, dan kebanggaan atas disiplin tentara. Namun ada satu doktrin yang paling melekat, PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah musuh yang harus diberantas hingga ke akar. Dari cerita-cerita itu, Rista menyaksikan bagaimana keyakinan ayahnya berubah menjadi tembok kaku, sulit ditembus oleh pandangan lain.

Cerita lain dari garis ibu, Rista mendengar kisah yang sangat berbeda. Ibunya tumbuh dari sebuah desa di kaki Gunung Kawi, Blitar daerah yang pada 1965 dianggap sebagai basis kuat PKI. Buyutnya adalah tokoh desa yang disegani, penjaga irigasi sekaligus pemilik mesin diesel pertama yang memasok listrik bagi warga. Posisi itu justru menyeret keluarganya ke dalam arus kecurigaan. Tentara bersenjata pernah mendatangi rumah mereka, memberondongkan peluru hingga menembus dinding joglo. Anak-anak bersembunyi di kolong rumah, ada yang digulung dalam tikar, sementara buyut Rista terpaksa melarikan diri ke hutan. Keluarga yang tertinggal hidup dalam ketakutan.

Blitar kala itu disapu gelombang kekerasan.  Desa yang dulunya berwarna ada Buddha, Kristen, dan Islam perlahan dipaksa seragam di bawah tekanan. Sebagian besar berpindah agama demi keselamatan, sementara sebagian lain memilih naik ke desa-desa di lereng gunung untuk mempertahankan keyakinannya. Ingatan keluarga ibunya tersisa dalam suara bisik-bisik, cerita tentang peluru di dinding, sembunyi di ruang diesel yang ditanam di tanah, dan buyut yang kembali pulang tapi tak lagi berani keluar rumah.

Dua riwayat itu militer dan desa yang diteror menyatu dalam tubuh Rista. Dari ayahnya, ia menerima keyakinan mutlak tentang bahaya PKI. Dari ibunya, ia menyimpan potongan cerita tentang keluarga yang gemetar di bawah todongan senjata.

Ketika kecil, Rista pun dipaksa menonton film Pengkhianatan G30S/PKI setiap September. Ia menelan mentah-mentah gambaran PKI sebagai kejam, keji, dan penuh makar. Namun seiring dewasa, saat ia membaca lebih banyak, mendengar langsung cerita dari ibunya, dan meraba bekas lubang peluru di rumah keluarga di Blitar, keyakinan itu mulai runtuh.

Kini, di usia 33, Rista berdiri sebagai saksi generasi ketiga mewarisi dua warisan yang saling bertolak belakang. Ia melihat bagaimana sejarah tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga meretakkan keluarga. Di meja makan, perbedaan itu nyata.  Ayahnya masih percaya PKI bisa bangkit kapan saja, sementara dari garis ibu ia mendengar bagaimana ketakutan justru ditebarkan oleh tentara.

Bagi Rista, luka 1965 bukan lagi sekadar catatan buku pelajaran, melainkan denyut yang ia warisi dalam darah: satu dari tentara, satu dari petani. Dan di dalam dirinya, dua ingatan itu beradu, mencari ruang rekonsiliasi yang tak pernah selesai.

Dalam wawancara, Rista mengenang kakeknya dari pihak ayah. Meski seorang militer, sang kakek tetap mengalami perang batin.  Ia harus menjalankan perintah, namun dalam hati terguncang karena sahabat-sahabatnya sendiri yang dituduh terinfiltrasi justru menjadi korban. Rista tak tahu pasti apakah itu hukuman dari sesama rekan militer atau akibat isolasi kesatuan, namun yang ia yakini, sebelum label “PKI” dilekatkan, semua orang hidup berdampingan dengan damai.

Kenangan lain datang dari neneknya, anggota Persit Kartika Chandra Kirana, yang pernah belajar menembak bersama perempuan-perempuan Gerwani. Saat itu, hubungan sosial masih berjalan wajar, tak ada sekat yang memisahkan. Baru ketika politik mengeras, jurang itu dibangun. Dan hari ini, Rista mewarisi cerita penuh kontradiksi.  Keluarga yang berdiri di dua sisi sejarah, namun sama-sama terluka.

*Rista bukan nama yang sebenarnya dan cerita ini berdasarkan hasil dari wawancara generasi ketiga keluarga penyintas 65.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *