Aula SMA Shafta Surabaya terasa lebih hidup pada Selasa, 2 Desember 2025. Ratusan siswa kelas XII memenuhi ruangan untuk mengikuti program literasi digital bertajuk “Saring Sebelum Sharing”, hasil kolaborasi antara mahasiswa Universitas Ciputra Surabaya (UC) dan pihak sekolah.
Program ini hadir sebagai upaya memperkuat etika digital para remaja di tengah derasnya arus informasi. Mahasiswa dari Program Studi Ilmu Komunikasi UC menjadi pemateri utama, membahas isu yang dekat dengan kehidupan para siswa seperti bahaya hoaks, keamanan data pribadi, hingga konsekuensi dari jejak digital.
Mereka menekankan bahwa satu unggahan di media sosial bisa mempengaruhi reputasi, membentuk opini publik, atau bahkan memicu konflik. Dengan pendekatan yang relevan dengan keseharian siswa, kegiatan ini bertujuan membangun sikap kritis dalam memilah informasi sebelum dibagikan.

Di tengah sesi, Bapak Kamil, guru bimbingan konseling SMA Shafta, menegaskan pentingnya kerja sama ini bagi masa depan siswa.
“Kolaborasi ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat karakter siswa dalam menghadapi arus informasi digital yang tidak terbendung,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Remaja saat ini hidup dalam era banjir informasi. Karena itu, kami ingin membekali siswa dengan kemampuan literasi digital yang kuat. Tidak cukup hanya aktif, mereka harus bertanggung jawab.”
Dukungan juga datang dari pihak UC melalui Bapak Hidayat, dosen Ilmu Komunikasi yang turut menjadi pemateri. Menurutnya, kemampuan teknis menggunakan media sosial belum cukup tanpa pemahaman risiko di baliknya.
“Kami melihat banyak siswa yang sangat mahir menggunakan media sosial, tetapi belum memahami sepenuhnya konsekuensi dari setiap unggahan. Program ini membantu mereka memahami bahwa jejak digital bersifat permanen dan harus dikelola dengan bijak,” jelasnya.
Usai sesi materi, kegiatan berlanjut dengan simulasi fact-checking dan studi kasus. Para siswa diajak mempraktikkan cara mengenali informasi palsu menggunakan metode sederhana yang bisa mereka terapkan setiap hari. Antusiasme tampak dari banyaknya siswa yang berbagi pengalaman pribadi mengenai hoaks hingga kebiasaan di grup chat yang sering memicu penyebaran informasi tak tervalidasi.
Pendekatan praktik langsung ini selaras dengan temuan Jurnal Etika dan Literasi Digital Indonesia (2023) yang mencatat bahwa 68% remaja memiliki tingkat paparan hoaks tinggi, namun hanya 22% yang rutin melakukan verifikasi informasi. Studi tersebut menyebutkan bahwa pendidikan literasi digital berbasis pengalaman langsung lebih efektif meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Melalui program “Saring Sebelum Sharing”, SMA Shafta berharap dapat menumbuhkan budaya digital yang lebih bijak, etis, dan bertanggung jawab di lingkungan sekolah. Sementara kolaborasi dengan mahasiswa UC menjadi contoh sinergi antara pendidikan menengah dan perguruan tinggi dalam menjawab tantangan era informasi modern.
Di tengah derasnya pergerakan informasi, para siswa diingatkan pada satu hal penting, pikir dulu sebelum klik “bagikan”. (Syakila Rizqita Asa Yudana/Kontributor)

Keren bangett!! Semoga materinya dapat diterapkan oleh para siswa siswi😇🙌🏻💪🏻
muda mudi penerus bangsa🥰
bagus banget ini materinya, sangat mendukung untuk diterapkan oleh gen z di masa sekarang🔥👍🏻