Di Tanah yang Mengajari Nur Diam, Ia Justru Belajar Berteriak

“Nur, tidak mungkin ya kita berjumpa lagi. Suratku untuk mengingat sesuai cita-citamu,  Semoga kamu bisa mencapai cita-citamu ingat juga ya bahwa kita orang asia sering dihinakan oleh orang Arya dan itu tugas kamu untuk melawan segala bentuk diskriminasi.”

Kalimat itu tertulis dalam secarik surat dari seorang guru sekolah dasar kepada seorang murid kelas enam bernama Nur. Ia adalah anak perempuan yang tumbuh di desa kecil di Pasuruan, di tengah gemericik sungai dan aroma padi yang baru dipanen. Kelak, Nur dikenal oleh publik sebagai Nursyahbani Katjasungkana seorang aktivis, advokat, legislator, pendiri organisasi perempuan, dan perempuan yang mewakafkan hidupnya untuk memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan.

Hari itu, matahari siang menyinari halaman rumah tua di Desa Parirejo, Kecamatan Purwodadi, Pasuruan. Jawa Tmur.  Di sana, Triyana dan Sonya Akhsaniyah dari Adreena Media disambut dengan senyum hangat Nursyahbani. Rumah tua itu berdiri tenang di antara pepohonan dan ladang, seolah menyimpan ribuan cerita. Bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang mimpi dan perjuangan yang belum selesai. Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat berseminya kesadaran, keberanian, dan luka-luka awal yang menuntun Nur kecil menuju jalan panjang perjuangan.

“Di sini saya dibesarkan,” kenangnya, “setelah ayah saya membeli rumah tahun 1954 dan kami pindah dari Pamekasan tahun 1960.”

Meski lahir di Jakarta, Nursyahbani menganggap Madura dan Pasuruan sebagai rumah spiritual dan sosialnya. Dua tempat itulah yang mengajarkannya tentang luka perempuan dan sekaligus melahirkan empatinya sebagai manusia. Dari lorong-lorong kecil dan sawah-sawah yang membentang, ia belajar bagaimana kehidupan bisa menjadi arena ketidakadilan khususnya bagi perempuan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana struktur sosial dan budaya dapat menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya secara utuh.

Teman Sekolahku Hilang

Kenangan masa kecilnya tak bisa lepas dari satu peristiwa yang masih membekas hingga kini. Teman sekelasnya di SD, Patria, tiba-tiba menghilang. Gadis itu dipaksa menikah ketika mereka masih duduk di kelas lima. Hari sebelumnya mereka bermain bersama, berlarian di pematang sawah. Keesokan harinya, sekolah kehilangan satu murid perempuan yang cerdas dan penuh tawa. Sebagai gantinya, kampung ramai dengan pesta pernikahan. Musik dangdut berkumandang, sapi dipotong, dan tamu datang silih berganti. Tapi tak seorang pun tahu bahwa di balik pesta itu, ada tubuh kecil yang sedang memberontak.

“Dia sampai diikat dengan stagen dari kaki sampai dada, supaya tidak bisa disentuh suaminya,” tutur Nur, matanya berkaca-kaca. “Hari ketiga, dia kabur.”

Tak berhenti di situ. Nur juga kehilangan teman lainnya, Karsiti, yang bercita-cita menjadi perawat. “Dia ingin pakai baju putih dan topi perawat,” kenangnya sambil tersenyum getir. Namun cita-cita itu tak pernah terwujud karena ia juga dinikahkan di usia belia. Nur mulai menyadari bahwa sistem sosial dan budaya patriarki telah membentuk konstruksi yang membuat suara anak perempuan nyaris tak terdengar.

Peristiwa-peristiwa itu mengukir luka dalam benak Nur kecil. Tapi luka itu justru menumbuhkan semangat perlawanan. Ketika gurunya bertanya siapa yang bersedia menggantikan Karsiti untuk ikut ujian kelas enam, tangan Nur terangkat. Ia yang masih duduk di kelas lima, maju mengikuti ujian. Dukungan dari para guru membuatnya percaya bahwa perempuan bisa melampaui batasan yang dipaksakan oleh masyarakat.

Pendidikan dan Surat yang Mengubah Arah Hidup

Surat dari guru itu masih disimpannya hingga hari ini. Dalam surat tersebut tertulis: “Ingat, kita orang Asia sering dihinakan oleh orang Arya, tugasmu melawan diskriminasi.” Kalimat itu, meski ditulis oleh seorang guru desa, menjadi prinsip hidup bagi Nur.

Sejak saat itu, ia memancang mimpi untuk kuliah di Universitas Airlangga, menjadi hakim atau pengacara, dan membela mereka yang dipinggirkan. Ia menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai akademis, tapi juga tentang membuka ruang kesadaran sosial dan memperjuangkan martabat manusia. Di kampus, ia banyak terlibat dalam organisasi mahasiswa, membaca buku-buku pemikiran kritis, dan memperdalam wawasannya tentang ketidakadilan struktural dan sistemik.

Ia belajar tentang feminisme, teori hukum kritis, dan filsafat politik yang memberinya kerangka berpikir untuk menghubungkan pengalaman masa kecilnya dengan persoalan yang lebih luas. Pendidikan formal dan informal menjadi jalan bagi Nur untuk menyusun strategi perlawanan.

Dalam keluarganya, diskriminasi tak pernah diajarkan. Ayahnya adalah sosok yang progresif. Di rumah, setiap anak mendapatkan perlakuan yang sama, termasuk dalam hal pendidikan. Hari ulang tahun disambut dengan hadiah buku, bukan mainan. Buku-buku itu termasuk karya-karya terjemahan Balai Pustaka seperti Sebatang Kara, Di Bawah Pontiontille, hingga Keju karya Willem Elsschot.

“Saya sudah diperkenalkan dengan sastra dunia sejak kecil,” katanya sambil tersenyum mengenang masa kecilnya. Sastra membantunya memahami kompleksitas manusia dan kemanusiaan. Dari karya-karya itu, Nur mengenal penderitaan, cinta, harapan, dan perlawanan.

Namun dari luar rumah, ia menyaksikan ketidakadilan yang menimpa teman-teman sebayanya. Di sekolah, di desa, bahkan dalam relasi sosial yang lebih luas, perempuan selalu dituntut untuk diam, tunduk, dan menerima nasib. Ia melihat bagaimana budaya patriarki menjelma menjadi kekuatan yang mengendalikan tubuh dan kehidupan perempuan.

Semangat untuk melawan ketidakadilan itu terus terbawa hingga dewasa. Ia menempuh studi hukum dan menjadi advokat. Ia mendirikan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) dan menjadi salah satu suara paling lantang dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia.

Sebagai pengacara, ia menangani banyak kasus kekerasan terhadap perempuan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana sistem hukum kita kerap gagal melindungi korban. “Banyak korban kekerasan tidak hanya kehilangan tubuhnya, tapi juga masa depan, martabat, dan bahkan keberadaannya sebagai manusia,” ujarnya.

Ketidakadilan bukan hanya terjadi karena hukum tidak tersedia, tapi karena tiga pilar hukum legal content, legal structure, dan legal culture tak berjalan seimbang. Ia pernah menulis langsung ke PBB tentang praktik kawin paksa, dan menemukan bahwa KUHP sebenarnya memiliki pasal untuk menjerat pelaku. Namun sering kali, aparat justru diam atau bahkan membenarkan.

“Polisi pernah mendamaikan kasus pemerkosaan dengan memaksa korban menikah dengan pelaku. Karena apa? Karena itu aib keluarga jadi jangan sampai diumbar dan banyak orang tau.” ceritanya getir.

Ia juga mengadvokasi perubahan hukum agar lebih berpihak pada korban. Ia menyusun draft undang-undang, melobi parlemen, mengedukasi masyarakat sipil, dan terlibat dalam berbagai forum internasional untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak.

Bagi Nur, luka yang paling sunyi adalah stigma. Ia menyebut bahwa stigma jauh lebih mematikan daripada kekerasan fisik. Ia meracuni pikiran, menyusup ke kesadaran, dan membuat perempuan merasa bersalah atas tubuh dan pilihannya sendiri.

Stigma terhadap janda, terhadap korban pemerkosaan, terhadap anak perempuan yang berani melawan, atau bahkan terhadap perempuan yang bersuara di ruang publik. Stigma menjadi alat kekuasaan yang membungkam perempuan.

“Perempuan penyintas perkawinan anak malah dianggap rusak oleh masyarakat. Padahal mereka korban. Tapi masyarakat tak peduli. Yang penting adat jalan, yang penting norma tidak diganggu,” katanya.

Ia berusaha membongkar stigma itu dengan edukasi, kampanye media, dan pengorganisasian akar rumput. Ia yakin bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika masyarakat mau mengakui bahwa mereka telah turut melanggengkan ketidakadilan.

Pulang Membangun dari Akar

Setelah puluhan tahun berjuang di Ibu Kota termasuk menjadi penasihat bidang antikorupsi di era Gubernur Anies Baswedan.  Nursyahbani memilih pulang ke dusun. Ia kembali bukan untuk beristirahat, melainkan untuk membangun kembali.

Ia mendirikan PAUD, membantu pembangunan gedung sekolah NU, dan mendampingi banyak warga, khususnya perempuan. Ia kembali tinggal bersama teman-teman masa kecilnya beberapa dari mereka adalah korban sistem yang dulu membuatnya menangis.

“Desa ini harus berubah,” katanya mantap. Ia percaya bahwa perubahan sosial tidak akan efektif jika tidak dimulai dari akar. Kembali ke desa adalah langkah strategis untuk menanamkan nilai keadilan dan kesetaraan sejak dini.

Kini, rumah tuanya menjadi ruang hidup sekaligus ruang gerakan. Dikelilingi oleh lukisan-lukisan karya seniman penyintas seperti Grek, patung-patung karya Dolorosa Sinaga, lukisan Andreas Iswinarto, rak-rak buku hukum dan HAM, serta surat-surat lama, rumah itu menjadi simbol keberlanjutan perjuangan.

Ia percaya, perubahan dimulai dari yang paling dasar, kesadaran. Dan bahwa satu anak perempuan yang menolak dinikahkan, bisa menjadi cahaya bagi banyak perempuan lainnya.

“Perempuan tidak boleh lelah bicara,” katanya. “Kita memang sering dipaksa diam. Tapi diam tidak pernah menyelesaikan apa pun.”

Ia terus menulis, berbicara, dan bertemu anak-anak muda di desa. Ia memberi ruang dialog, membuka perpustakaan kecil, dan bahkan mengadakan kelas hukum informal. Harapannya satu agar generasi selanjutnya tidak mengalami luka yang sama.

Perjalanan Nursyahbani Katjasungkana adalah bukti bahwa satu suara, satu pengalaman, dan satu luka bisa mengubah arah Sejarah. Dari dusun kecil di Pasuruan, ia melangkah ke panggung nasional dan internasional. Tapi akar perjuangannya tetap di tempat yang sama, luka-luka perempuan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Ia tidak sedang menceritakan kisah heroik semata. Ia sedang menuturkan kisah kolektif perempuan Indonesia, kisah yang penuh luka, tapi juga harapan. Kisah tentang keberanian untuk menyuarakan ketidakadilan, membongkar budaya yang membungkam, dan membangun masa depan yang lebih adil.

Dan suara itu, kini, sedang tumbuh kembali, melalui anak-anak perempuan yang berani bermimpi. Seperti Nur kecil yang dulu menggantikan Karsiti, kini giliran mereka mengangkat tangan, dan berkata, “Saya siap. Saya bisa.”

Liputan ini diproduksi oleh tim Adreena Media dalam program “Cerita Perempuan dari Pinggir”. Dipandu oleh Triyana dan Sonya Aksaniyah. Bisa tonton wawancara langsung di Podcast Adreena Media.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *