Di sebuah desa terpencil di Kecamatan Silo, Jember, Jawa Timur, pernikahan anak masih menjadi fenomena yang kerap ditemui. Desa-desa seperti Harjomulyo dan Pace menyimpan cerita tentang kehidupan masyarakat yang terjepit antara tradisi turun-temurun dan kebijakan pemerintah yang berusaha melindungi hak anak.
Pagi itu, mentari menyelinap lembut di antara pepohonan desa Harjomulyo. Di sebuah rumah sederhana berdinding bata yang belum diplester, Hasan (24) dan Laili (23) menyambutku dengan senyum hangat. Tawa mereka pecah saat aku mencoba meniru logat Madura mereka yang khas.
Rumah mereka hanya memiliki satu kamar beralaskan tikar tipis tempat Hasan, Laili, dan dua anak mereka, Diah (3,5 tahun) dan Fatir (2 bulan), tidur bersama. Sebuah bale kayu menjadi pusat kegiatan keluarga, tempat mereka makan dan bercengkerama. Kehidupan mereka sederhana, dengan dapur berbahan bakar kayu dan sumur sebagai sumber air.
Setiap hari, Hasan memulai aktivitasnya sejak subuh. Usai shalat, ia berangkat ke kebun kopi sebagai buruh tani. “Saya bekerja dari pukul 6.30 pagi hingga 2 siang. Kalau libur, saya bantu istri menjaga anak supaya dia bisa mencuci pakaian di sungai,” ujarnya. Dengan upah Rp50.000 per hari, Hasan hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
Hasan menikahi Laili ketika usianya baru 17 tahun, sementara Laili masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Meski pernikahan dini sering dipandang sebelah mata, bagi Hasan, kebahagiaan sederhana adalah melihat anak-anaknya makan dengan cukup, meski hanya dari satu mangkuk nasi.
Budaya dan Stigma
Budaya lokal di Kecamatan Silo sering kali memandang pernikahan anak sebagai hal yang wajar, bahkan diharapkan. Sunardi (46), seorang ketua RT dan tokoh masyarakat, mengungkapkan bahwa perempuan yang belum menikah di usia remaja sering dianggap tidak laku. “Ada stigma yang sulit dihilangkan,” katanya. “Ini menjadi tantangan besar ketika kami mencoba mendorong anak-anak untuk melanjutkan pendidikan.”
Di desa Pace, yang tak jauh dari Harjomulyo, hidup Nabila (16) bersama suaminya, Fauzi (22). Tubuh mungil Nabila mencerminkan usianya yang masih sangat muda. Foto wisuda SMP dan pernikahannya tergantung di dinding rumah mereka, menjadi saksi perjalanan hidupnya yang penuh liku.
Namun, kehamilan pertama Nabila yang baru memasuki usia tiga bulan menjadi tantangan tersendiri. Tensi rendah membuatnya terkapar selama berminggu-minggu. Di tengah kondisi ini, keluarga mereka tetap bergantung pada hasil kebun kopi untuk bertahan hidup.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan batas usia minimal pernikahan, yaitu 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki, melalui revisi Undang-Undang Perkawinan pada 2019. Namun, implementasi aturan ini tidak selalu berjalan mulus di daerah terpencil. Di Kecamatan Silo, pernikahan anak sering kali dilakukan tanpa pencatatan resmi. “Kami tahu ada aturan, tapi apa yang bisa kami lakukan kalau keluarga sudah setuju?” tanya Sunardi.
Para kader posyandu dan perangkat desa juga menghadapi dilema. Ike Ernawati (32), seorang kader kesehatan, sering menemukan kasus kehamilan remaja yang sudah menikah secara adat. “Kami mencoba memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi, tapi budaya di sini lebih kuat,” ujarnya.
Medan yang sulit dan keterbatasan sumber daya menjadi kendala lain. Jalan berbatu dan licin di perbukitan membuat distribusi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) penuh tantangan. Selain itu, mitos-mitos lokal seperti larangan memeriksakan kehamilan sebelum tiga bulan juga menghambat upaya kesehatan.
Namun, Ike dan para kader lainnya tetap berjuang. Mereka mengajarkan warga memanfaatkan pekarangan untuk menanam sayur dan membuat nugget sayur agar anak-anak mau makan makanan bergizi.
Mencari Jalan Tengah
Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan pendekatan yang melibatkan semua pihak. Pemerintah desa, tokoh adat, dan kader kesehatan bekerja sama mencari solusi yang tidak hanya menghormati budaya lokal, tetapi juga melindungi hak anak. Program pemberdayaan perempuan, seperti pelatihan keterampilan dan akses pendidikan nonformal, mulai diperkenalkan.
Sunardi, yang gigih menyekolahkan anak-anaknya meski sering mendapat cibiran, berharap dapat menjadi contoh. “Amanah bagi saya adalah menyekolahkan anak. Itu kewajiban orang tua,” tegasnya. Kini, anak perempuannya, Riris (24), telah menjadi guru di kampung.
Meski tantangan masih besar, ada harapan bahwa perubahan perlahan bisa terjadi. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, masyarakat dan pemerintah dapat menemukan jalan tengah yang menghormati tradisi sekaligus melindungi masa depan anak-anak.
Kisah Hasan, Laili, Nabila, dan Sunardi adalah cerminan kompleksitas persoalan pernikahan anak di desa terpencil. Di balik setiap keputusan, ada cerita tentang perjuangan, harapan, dan upaya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pertanyaannya kini, mampukah tradisi dan kebijakan berjalan berdampingan untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi generasi berikutnya?













