
Di bawah teriknya matahari Jakarta, Fatimah (bukan nama sebenarnya) berdiri bersama ratusan pengungsi lainnya di depan kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dengan wajah penuh kelelahan, ia memegang poster bertuliskan seruan: “8 years Enough dengan gambar telapak tangan bertinta merah”.
“Sudah delapan tahun kami menunggu di sini tanpa jawaban,” Suaranya parau, tapi tekadnya tidak goyah. “Kami tidak punya hak untuk bekerja, tidak bisa sekolah, bahkan membeli SIM card saja tidak bisa. Hidup kami seperti terhenti di tempat.”
Fatimah adalah seorang perawat dari Afghanistan yang terpaksa meninggalkan negaranya bersama keluarganya saat Taliban kembali berkuasa. Di negeri asalnya, ia bekerja sebagai suster berpengalaman dengan enam tahun di bidang kesehatan. Namun di Indonesia, statusnya sebagai pengungsi membuatnya kehilangan segalanya identitas, hak, dan harapan.
“Setiap dua bulan, kartu kami terblokir karena kami tidak punya KTP. Kami tinggal di kamp kecil, berdesakan dengan tiga hingga empat orang lainnya. Anak-anak saya dan ibu saya mengalami stres berat. Kami tidak bisa tidur di malam hari karena memikirkan masa depan yang tidak ada,” katanya dengan suara bergetar.
Kehidupan yang Terhenti
Fatimah bukan satu-satunya yang merasakan keputusasaan. Bersama para pengungsi dari Sudan, Somalia, Iran, dan Palestina, mereka menghadapi situasi yang sama: hidup di pengasingan tanpa kejelasan. Tidak ada pekerjaan, tidak ada pendidikan, dan tidak ada jaminan masa depan.
“Anak saya tidak pernah pergi ke sekolah. Jika pun dia bisa sekolah di sini, dia tidak akan mendapatkan ijazah karena dia pengungsi. Apa yang akan terjadi pada masa depannya?” tanyanya, air mata mengalir di pipinya.
Fatimah juga menceritakan bagaimana lembaga-lembaga seperti IOM (International Organization for Migration) dan UNHCR belum memberikan solusi konkret. “IOM hanya memberikan sedikit uang untuk bertahan hidup. Ketika kami minta bantuan psikolog, mereka hanya bilang, ‘Bersabar dan berzikir.’ Saya percaya Allah, tapi itu bukan solusi untuk kami,” katanya.
Selama dua tahun pandemi, UNHCR tidak pernah bertemu langsung dengan mereka. Fatimah merasa ditinggalkan. “Kami hidup di sini tanpa kepastian hukum selama delapan tahun. Semua ibu stres. Kami tidak bisa tidur di malam hari. Saya sendiri sering tidak tidur selama 22 jam karena terlalu banyak berpikir. Kami tidak punya pekerjaan dan masa depan,” ucapnya.
Di Indonesia, Fatimah merasa perempuan pengungsi seperti dirinya menghadapi risiko yang lebih besar. “Tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi kami perempuan di sini. Kami hidup dalam ketakutan,” ujarnya.
Tidak Ada Jalan Pulang
Bagi Fatimah, pulang ke Afghanistan bukanlah pilihan. “Taliban tidak akan pernah berubah. Anak laki-laki dipaksa berjihad, sementara anak perempuan dinikahkan di usia 12 tahun dan dikirim ke Pakistan. Jika keluarga menolak, mereka akan dibunuh. Situasi di sana jauh lebih buruk sekarang. Kami tidak mungkin kembali,” katanya tegas.
Di tengah semua kesulitan ini, Fatimah berharap media dan masyarakat Indonesia bisa membantu menyuarakan penderitaan mereka. “Kami hanya ingin hidup seperti manusia lainnya bekerja, belajar, dan memberikan masa depan yang lebih baik untuk anak-anak kami. Apa itu terlalu sulit?” tanyanya, penuh harap.
Aksi demonstrasi ini mungkin hanya satu langkah kecil, tetapi bagi Fatimah dan ratusan pengungsi lainnya, ini adalah perjuangan untuk mempertahankan martabat dan harapan mereka di tengah ketidakpastian yang tak berujung.
