Asri Nugroho : Hidup dari Lukisan, Hidup untuk Kejujuran

Di satu sore yang tenang di Surabaya, Asri Nugroho Nus Pakurimba memperkenalkan dirinya dengan tawa yang ringan, seolah usia bukan perkara.
“Nama saya Asri Nugroho Nuspaku Rimba. Lahir tahun lima dua. Sekarang umurnya baru tujuh belas,” katanya, lalu tertawa sendiri. “Dibalik, dibalik, ditambah dua tahun lagi.”

Humor itu menjadi pintu masuk ke perjalanan panjang seorang pelukis yang hidupnya ditempa bukan oleh bangku akademi seni rupa, melainkan oleh jalan berliku kerja, disiplin ala militer, dan kesetiaan pada proses. Asri lahir dari keluarga tentara. Ayahnya seorang perwira TNI dengan pangkat terakhir Letnan Dua. “Bapak saya mendidik dengan cara militer,” kenangnya. Disiplin, rasa takut, dan ketegasan menjadi bagian dari masa kecilnya. Namun dari rumah itulah pula ia belajar satu nilai sederhana yang terus ia bawa: menjadi orang baik.

Ketertarikannya pada seni muncul jauh sebelum ia menyadari bahwa melukis akan menjadi jalan hidup. Sejak SD ia sudah senang menggambar, meski saat itu hanya sebatas kesenangan. Memasuki SMP, kebiasaan itu berubah menjadi kebutuhan. Ia menggambar tanpa guru, tanpa kurikulum, tanpa ijazah seni. “Saya tidak pernah belajar lewat perguruan tinggi seni rupa. Belajar sendiri saja,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, musik juga hadir kuat dalam hidupnya. Di Malang, di kawasan Sukun Sitodadi, ia tumbuh di lingkungan anak-anak muda yang gemar bermain gitar. “Saya senang musik. Dari SMP kelas satu sudah main gitar,” katanya. Melukis dan musik berjalan beriringan sampai hari ini.

Awal kariernya jauh dari romantika galeri. Asri masuk ke dunia reklame dan poster film. Di Keputran, Surabaya, ia bekerja melukis poster-poster bioskop secara manual, sebuah praktik yang pada era 1970–1980-an menjadi tulang punggung promosi film sebelum cetak digital mengambil alih. “Dari situ saya akhirnya jadi tukang gambar,” katanya lugas. Ia membuat lettering, komposisi warna, dan figur-figur besar yang harus selesai cepat karena sistem borongan. Selama hampir tujuh belas tahun, ia hidup dari poster film. Gajinya kecil. “Satu bulan itu seratus lima puluh ribu,” katanya tentang tahun 1990-an awal, itupun sering habis oleh bon mingguan untuk kebutuhan keluarga.

Namun di sela rutinitas itu, benih pelukis murni terus tumbuh. Sejak sekitar 1980, setiap pulang kerja ia melukis untuk dirinya sendiri. Tidak ada target pasar, tidak ada tuntutan klien. “Teknik jelek, pemikiran jelek, nggak masalah,” katanya mengingat fase itu. Kebebasan semacam itu tidak ia temukan di dunia poster film, yang menuntut presisi komposisi dan warna sesuai kebutuhan promosi. Kejenuhan akhirnya memuncak. “Saya capek,” katanya singkat. Tahun 1990 ia memutuskan keluar total dari pekerjaan poster film, sebuah keputusan yang bagi banyak orang mungkin terasa nekat, mengingat ia punya keluarga dan anak yang masih sekolah.

Langkah itu justru membuka jalan lain. Pameran demi pameran mulai ia jalani, dari pameran bersama hingga pameran tunggal. Tahun 1987, ia menggelar pameran tunggal pertamanya di PPA dengan judul Pohon 1–32. Judul yang sederhana, tetapi menandai keseriusannya sebagai pelukis. Setelah itu, pameran berlanjut di Surabaya, Jakarta, hingga kota-kota lain. Tahun 1992–1993 menjadi periode penting ketika ia mulai dikenal lebih luas. Di masa itu, ekosistem seni rupa Indonesia sedang bergerak dinamis. Galeri swasta tumbuh, kolektor mulai berani membeli karya, dan seniman-seniman non-akademik menemukan ruangnya sendiri.

Pengalaman pertama menjual lukisan masih ia ingat betul. Seorang kolektor datang ke rumah kontrakannya yang sempit. “Rumah saya kecil, ngontrak, setahun seratus enam puluh tiga ribu,” katanya sambil tertawa. Lukisan kecilnya dibeli dengan harga belasan ribu rupiah. Tak lama kemudian, seorang kolektor dari Jakarta membeli karyanya dengan harga ratusan ribu hingga jutaan. “Saya bingung,” katanya jujur. Dari penghasilan ratusan ribu per bulan, ia tiba-tiba berhadapan dengan angka yang bahkan setara harga rumah kala itu. Kebingungan itu bukan hanya soal uang, tetapi soal perubahan hidup yang datang terlalu cepat.

Salah satu titik penting lain datang lewat karya Yesus Penebus pada 1994, yang meraih penghargaan dalam kompetisi seni lukis Philip Morris tingkat Indonesia dan tampil di tingkat ASEAN. Bagi Asri, karya itu bukan sekadar prestasi. Ia lahir dari pergulatan iman dan pencarian nilai. “Saya hidup secara Kristen,” katanya. Tema religius muncul bukan sebagai doktrin, melainkan refleksi. Dalam seri Yesus yang ia buat kemudian, ia bahkan berani menghadirkan wajah Yesus yang gelap. “Wajah jahat itu wajah saya,” katanya. Ia ingin menunjukkan bahwa kejahatan sering kali bukan pada Tuhan, melainkan pada manusia yang merasa dikhianati oleh Tuhan. Lukisan baginya menjadi “rem”, pengingat agar tidak larut dalam kemarahan spiritual.

Kesuksesan materi datang bertubi-tubi pada dekade 1990-an. Lukisan-lukisannya laku mahal, ia membeli rumah, mobil, bepergian ke luar negeri, berpameran di Jepang, Filipina, dan Singapura. Ia bahkan bekerja sebagai pelukis di Singapura dengan bayaran dolar, sesuatu yang pada masa itu menjadi mimpi banyak seniman Indonesia. Namun Asri tidak romantis soal sukses. Ia justru menertawakan kebingungannya sendiri menghadapi uang. “Saya nggak ngerti ATM,” katanya. Uang datang lebih cepat daripada kesiapan mengelolanya.

Di balik semua itu, Asri tetap memandang seni sebagai ruang tanggung jawab etis. Ia percaya kebebasan berekspresi harus disertai kesadaran. “Silakan berekspresi sebebas mungkin,” katanya, “tapi harus ngerti sopan santun.” Kritik, baginya, adalah bagian penting dari seni, tetapi harus diarahkan pada sistem, bukan sekadar menyerang individu. Dalam pandangannya, seniman memiliki peran seperti pengawas sosial, tetapi dengan bahasa yang anggun, tidak vulgar. Ia membandingkan kondisi Indonesia dengan negara-negara yang menurutnya lebih matang dalam mendukung seni, seperti Belanda atau Jerman, di mana negara hadir memberi subsidi bagi pelukis serius.

Kini, setelah melewati berbagai rezim dan perubahan zaman, Asri melihat dunia seni dengan mata yang lebih tenang. Ia menyadari dukungan negara terhadap seni rupa semakin minim, sementara beban hidup semakin mahal. Namun ia tidak terdengar pahit. Ia lebih memilih berharap. Menjelang Natal, pesannya sederhana, “Tetap berbuat baik, tetap jujur, tetap bersemangat melakukan hal-hal positif.”

Asri Nugroho tidak menawarkan kisah seniman yang lahir dari gemerlap galeri sejak awal. Ia datang dari poster bioskop, rumah kontrakan sempit, disiplin militer, dan kebingungan mengelola rezeki. Dari sana, ia membangun hidup yang merdeka melalui kanvas. Melukis, baginya, bukan sekadar karya yang digantung di dinding, tetapi cara berdamai dengan diri sendiri, dengan Tuhan, dan dengan dunia yang terus berubah.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *