Au Loim Fain: Luka Lintas Generasi

“Au Loim Fain”, dalam bahasa daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), berarti aku ingin pulang. Sebuah kalimat sederhana yang memikul beban panjang tentang keberangkatan, jarak, dan harapan yang digenggam erat oleh para pekerja migran. Melalui buku dan pameran foto ini, Romi Perbawa tidak sekadar merekam perjalanan tubuh yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, tetapi juga menyimpan jejak emosi tentang rumah yang ditinggalkan, mimpi yang dinegosiasikan, serta hidup yang dijalani di batas antara kebutuhan dan kerinduan. Migrasi bukan hanya soal pergi, melainkan tentang apa yang harus dikorbankan agar tetap bisa bertahan.

Bedah buku foto Au Loim Fain karya Romi Perbawa yang digelar di Galeri Dewan Kesenian Surabaya, Jumat, 19 Desember 2025, menghadirkan pembacaan mendalam tentang persoalan pekerja migran Indonesia bukan sekadar sebagai isu ketenagakerjaan, tetapi sebagai persoalan kemanusiaan lintas generasi. Melalui diskusi yang dimoderatori Mamuk Ismuntoro, Irfan Wahyudi dan Romi Perbawa memperlihatkan bagaimana negara, masyarakat, dan sistem sosial kerap gagal melindungi mereka yang paling rentan.

Irfan  membuka diskusi dengan menyoroti pilihan semu yang dihadapi pekerja migran. Menurutnya, para calon pekerja seolah diberi pilihan menempuh jalur resmi yang penuh prosedur dan risiko kegagalan, atau memilih jalan pintas yang lebih cepat namun berbahaya.

Dari kondisi inilah persoalan undocumented workers lahir baik mereka yang benar-benar tanpa dokumen, maupun yang memiliki dokumen dengan data yang dimanipulasi. Negara, kata Irfan, cenderung hanya mengakui dan melindungi pekerja migran berdokumen, sementara realitas di lapangan jauh lebih kompleks.

“Pemerintah selalu mengutamakan bahwa yang dilindungi adalah yang berdokumen. Tapi nyatanya persoalan ini tidak sesederhana itu untuk diselesaikan,” tegasnya.

Persoalan dokumentasi tersebut berdampak langsung pada maraknya pekerja anak. Irfan mencontohkan bagaimana anak-anak berusia 15 tahun bahkan lebih muda bisa bekerja hingga ke Hong Kong atau Arab Saudi. Secara administratif mereka tampak legal, memiliki paspor dan visa, tetapi identitas usia dipalsukan.

“Secara dokumen mereka punya, tapi isinya dipalsukan. Secara fisik masih kelihatan kecil, tapi siapa yang peduli,” katanya.

Melalui foto-foto Romi , audiens diajak menikmati kekuatan visual sekaligus dihadapkan pada kenyataan pahit.  Jam kerja yang tidak manusiawi, eksploitasi, relasi kuasa yang timpang, hingga penahanan dan deportasi. Irfan mengkritik kebijakan negara yang selama puluhan tahun lebih menekankan pengaturan proses pengiriman tenaga kerja, bukan perlindungan manusianya.

“Undang-undang kita lebih banyak mengatur cara mengirim pekerja, bukan bagaimana memanusiakan mereka,” ujarnya.

Salah satu isu paling menyayat yang muncul dalam buku ini adalah nasib anak-anak yang ditinggalkan. Banyak dari mereka tumbuh dengan rasa kehilangan, kemarahan, dan trauma mendalam. Dalam salah satu visual, ditampilkan anak yang bahkan tidak mengizinkan orang tuanya pulang.

“Anak itu sudah sangat benci karena merasa tidak pernah disapa oleh orang tuanya,” kata Irfan, menegaskan bahwa luka emosional ini jarang masuk dalam hitungan negara.

Di titik inilah pernyataan Romi menemukan pijakan. Bagi Romi, Au Loim Fain adalah upaya untuk memutus mata rantai nasib yang terus berulang.

“Kalau bapaknya sudah jadi nelayan atau pekerja migran dan disiksa, kenapa anaknya masih tidak punya pilihan?” ujar Romi.

Menurutnya, satu-satunya harapan yang paling mungkin adalah pendidikan.

Romi mengakui bahwa banyak persoalan tidak dimasukkan ke dalam buku karena keterbatasan ruang dan kebutuhan menjaga karya tetap solid. Namun kegelisahannya justru semakin besar ketika melihat perubahan sosial di masyarakat, terutama di daerah seperti Nusa Tenggara Timur. Rumah-rumah yang berjauhan, sekolah yang jauh, dan minimnya interaksi sosial membuka peluang besar bagi calo tenaga kerja.

“Begitu ada anak perempuan usia 10–11 tahun, mereka datang ke neneknya, dikasih sirih, gula, minum, uang, sampai dekat, lalu anaknya dibawa,” ungkap Romi.

Ia menegaskan bahwa praktik ini akan sulit dihilangkan jika masyarakat semakin individualistis dan tidak peduli pada sekitar. Karena itu, buku ini ia maksudkan sebagai bagian dari advokasi.

“Kalau kita sebagai manusia sudah punya hidup yang lebih baik, jangan tidak peduli dengan permasalahan ini,” katanya.

Pendidikan menjadi benang merah kegelisahan Romi. Ketimpangan kualitas sekolah, terutama di daerah pinggiran, ia saksikan langsung dalam berbagai proyeknya.

“Bagaimana kita mau mengubah bangsa kalau kualitas pendidikannya seperti itu? Sekolah dasar dan SMP di daerah-daerah itu sangat kurang sekali,” ujarnya.

Pengalaman panjang tersebut membentuk sikap etik Romi dalam fotografi. Ia tidak memotret untuk sensasi atau likes, melainkan membangun relasi dan tanggung jawab.

“Setiap motret, saya selalu bertanya kenapa saya memotret dia, dan saya harus bertanggung jawab,” kata Romi.

Ia menegaskan bahwa kepercayaan subjek harus dibalas dengan karya yang bermakna, bukan sekadar konsumsi visual.

Irfan menutup diskusi dengan refleksi bahwa Au Loim Fain berhasil memotret lapisan-lapisan persoalan pekerja migran yang sering luput dari riset akademik dan kebijakan negara dari keberangkatan, kerja, penahanan, deportasi, hingga perpisahan.

“Kita menikmati devisanya selama puluhan tahun, tapi persoalan perlindungan pekerja migran justru dilepaskan,” ujarnya.

Pada akhirnya, Au Loim Fain berdiri sebagai kesaksian dan pengingat bahwa di balik devisa dan statistik, ada manusia, ada anak-anak, ada luka lintas generasi dan ada tanggung jawab bersama untuk tidak berpaling.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *