NAFAS KEHIDUPAN MOSSO BELUM KEMBALI

mosso2
previous arrow
next arrow

Cuaca terasa sejuk, langit berawankan hitam namun tidak begitu kelam. Di sisi timur gelap, di sisi barat terang. Alam memang menentukan nasibnya sendiri pagi itu. Sabtu pagi (23/4),  menjadi hari terakhir perjalananku seorang diri selama 5 hari di Jayapura, karena esok harus kembali ke Ibukota, Jakarta.

Perjalanan dengan menyewa mobil APV, aku bersama 5 orang Papua menuju di perbatasan Republik Indonesia (RI) – Papua Nugini (PNG). Butuh kurang lebih 3 jam melewati kampung-kampung kecil, pemandangan gunung dan bukit yang hijau nan asri.  Dari sekian banyak kampung, Aku memilih mamasuki kampung terakhir di perbatasan yaitu kampung Mosso.  Sebelum memasuki Mosso, sudut pandang lurus disambut pos Kostrad TNI dihiasi bendera merah putih yang berkibar di setiap sisi kanan dan kiri dan tertulis dengan huruf besar “NKRI”.

Saat melewati pos TNI, kaca mobil aku turunkan dan  menyapa petugas dengan klakson. Tentunya, mereka balas dengan senyum tegas sambil mengangkat sebelah tangan mereka ke atas. Sesampainya di jembatan kayu yang belum permanen dimana sungai ini tempat penghunian para buaya, aku terpaksa harus melintas dengan berjalan kaki. Jembatan ini sudah diperbaiki selama 7 kali oleh masyaraka dan hanya mampu menampung berat manusia saja.

Mosso sebuah kampung kecil yang masih terdapat lebatnya pohon-pohon besar, sungai, telaga, dan kekayaan flora dan fauna. Kampung ini berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Kurang lebih ada 50 kepala keluarga (KK) dan 30 KK diantaranya mantan pelintas batas.  Pada tahun 1969 terjadi pemusnahan  kampung dengan membakar rumah masyarakat oleh Operasi Tumpas yang dilakukan prajurit TNI.

Masyarakat sempat meninggalkan kampung halamannya karena pemerintah Indonesia menempatkan pasukan militer dengan alasan untuk menjaga daerah perbatasan, salah satunya kampung Mosso.  Mereka berusaha menyelamatkan keluarganya dengan mengungsi di  kampung Nyao dan Kofo, PNG. Pada tahun 1999, masyarakat kembali ke kampung halaman Mosso  dan pada Mei 2007 pemerintah daerah menetapkan Mosso sebagai kampung terakhir di daerah perbatasan.

Kedatangan kami yang tanpa rencana, tidak disambut dengan keceriaan masyarakat, upacara adat, ataupun sambutan tamu yang biasanya kita saksikan jika para pejabat datang ke kampung-kampung. Aku menelusuri kampung, jarak yang harus ditempuh 2 kilo dengan berjalan kaki. kami dipandu seorang guru muda bernama Habel Tandilian peranakan Toraja dan Key (Ambon), dia mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) di kampung sebelah.

Hening, seperti tidak ada kehidupan. Selama perjalanan, aku tidak menemukan keceriaan. Kampung ini seperti mati. Bangunan kantor-kantor pemerintah seperti rumah berhantu, tidak terurus tanpa penghuni. Tidak adanya listrik dan sulitnya mendapatkan air menjadi salah satu alasan mengapa kampung ini seperti ditelantarkan.

“Petugas kalau sudah pergi kunjungi keluarga ke sebelah bisa 2-3 bulan baru kembali ke kampung ini. Terlihat kampung seperti tidak terawat karena tidak ada aktivitas di kampung ini. “ Habel tersenyum sambil mengajak aku melihat ke arah bangunan hantu itu.

“Dana mengalir, sekitar 100 juta. tapi pelaporan seperti apa kita tidak tahu.  Disini hanya kantor hanya  dibangun saja tapi tidak difungsikan.” Lanjutnya sambil menggelengkan kepala.

Wirausaha

Langkahku terus mencari titik akhir, langit sangat cerah, matahari sejengkal di atas kepalaku. Keringat pun sudah mengalir deras di atas pori-pori kulitku. Dahaga semakin mengering tidak ada air, mata kami mencari pohon kelapa siapa tahu ada buah yang bisa dipetik untuk memuaskan dahaga, sayangnya tidak kami temukan.

“Tidak ada kios disini, butuh waktu 15 menit dengan ojek turun ke kampung sana untuk membeli kebutuhan hidup.” Jelas Habel  tersenyum mendengar keluhan salah satu orang dari kami karena haus. Disini, kios hanya menjual bensin dan garam saja.

Selama perjalanan, Habel bercerita mengenai situasi dan kondisi masyarakat kampung Mosso saat ini. Menurut Habel, tidak adanya modal, tidak adanya pengetahuan khususnya wirausaha, dan penghasilan masyarakat yang minim sehingga berdampak pada pengeluaran, menjadi salah satu faktor sulitnya menumbuhkan wirausaha di Mosso.

“Kasihan mereka, saya suka bingung mereka dapat uang dari mana?Terkadang anak-anak harus mengojek ke PNG untuk dapat uang.” Habel empati terhadap masyarakat asli.

Biasanya, anak-anak pergi mengojek. Mengantar dari pintu perbatasan sampai ke pasar, mereka di bayar 2 kina, 1 kina = Rp 3000. Jika dengan barang tambah dihitung satu orang. Pasar di perbatasan RI-PNG biasanya hari Selasa, kamis, dan Sabtu di tutup pukul 15.00 sore. selama 10 jam waktu pasar anak-anak mengojek bisa mendapatkan uang 150-200 kina per hari.

“Saya juga punya anak murid terpaksa berhenti sekolah untuk mengojek. Satu sisi, kita mau bilang anak sekolah tetapi keluarga mereka butuh uang untuk hidup. Kadang-kadang, mereka pergi ke sekolah tidak makan.”  prihatin terhadap muridnya terlihat pada wajah guru yang bertubuh tinggi dan kurus ini. 

Guru sekaligus pemilik kantin di sekolah, tidak jarang Habel harus merelakan dagangannya agar anak-anak bisa makan tanpa memaksa mereka membayar dagangannya. Jika dibayar,” ya senang”, jika tidak ya, “ya terima kasih”.

“Terkadang mereka mengeluh pada saya, ‘aduh bapak guru saya lapar’ Dan saya mempersilahkan dikantin saya ‘makanlah yang bisa kamu makan’ mau bagaimana lagi?” Habel menyimpulkan setiap pagi anak muridnya tidak makan pergi ke sekolah dan orang tua belum sampai berfikir bahwa anak-anak pergi ke sekolah harus makan terlebih dahulu. Dalam keadaan lapar anak sulit menerima pelajaran.

Masyarakat setempat hanya makan satu kali dalam sehari. Kerjaan disini tidak ada, mereka masih berfikir alam yang menghidupkan mereka.  Biasanya, Mereka pergi berkebun, Bakar pisang lalu mereka makan pulang untuk tidur. Besok melakukan aktivitas yang sama lagi. Mereka tidak punya kebun disini. Banyak tanaman produktif tapi yang untuk mereka jual tidak ada.

Pendidikan

Sesekali, kami bertemu satu rumah mereka duduk santai bersama keluarga. Kita saling menyapa melemparkan senyum sambil mengabadikan dengan kamera DSLR.  aku juga bertemu sejumlah pemuda sedang memangun rumah panggung. Jarak satu rumah ke rumah lain kurang lebih 50 meter dengan dikelilingi tumbuhan lebat.

Seorang anak perempuan berkisar umur 8-9 tahun jongkok di pinggir jalan dengan parang ditangan mungilnya, dia sedang mencari cacing tanah. Di daerah perbatasan, hanya memiliki 7 guru. Khususnya, di kampung Mosso tidak ada guru yang menetap. Bahkan, guru sering tidak datang, sehingga anak-anak yang sudah pergi ke sekolah dengan jarak kurang lebih 2-3 kilo terpaksa harus kembali pulang tanpa membawa ilmu pengetahuan.

Billiam Poa salah seorang anak Mosso dan salah satu murid terbaik Habel. Dia salah satu siswa yang paling rajin yang memiliki semangat belajar tinggi. Dia terkadang tinggal di gereja. Persoalan yang dihadapinya saat ini dia terhambat untuk mengikuti ujian nasional karena peraturan baru dinas pendidikan tahun ini terkait soal usia. Billiam kini umur 23 tahun masih semangat belajar di SMA.

“Awalnya, pemerintah menyarankan untuk siapa saja yang mau sekolah, disekolahkan. Billiam masuk di SMP.” Jelas Habel. Namun, peraturan baru  dari dinas pendidikan tanpa melihat kondisi yang terjadi pada anak-anak di pedalaman justru menghentikan langkah Billiam untuk meraih masa depan pendidikannya.

Dana bos selalu ada tergantung kepala sekolahnya, “Dana bos membantu jika sekolahnya besar. Jika macam kita yang muridnya hanya 6, per anak Rp 45.000, jadi berapa yang kita dapat? 200-300 saja. Itu sangat tidak bisa digunakan karna semua kebutuhan disini mahal.”

Biasanya orang tua dan guru ikut berpartisipasi untuk beli kertas dan spidol. Mirisnya, pada tahun 2010 sekolah sempat tidak bisa menyelenggarakan ujian sekolah. Karena tidak ada dana untuk memperbanyak lembaran soal. Pada saat itu. Ketika tokoh adat dan masyarakat protes langsung baru pemerintah fokus sekarang.

“Waktu mama kambu istri walikota menjabat sebagai kepala dinas pendidikan. Semua fasilitas lengkap. Namun, semenjak beliau turun  semua jadi berantakan. Dana-dana lebih untuk sekolah sudah tidak ada” kenang Habel

Kesehatan

Persoalan Mosso tidak sampai itu. Belum lagi, bicara mengenai kesehatan. Kantor dinas kesehatan jelas berdiri depan mata. Lagi-lagi hanya menjadi bangunan berhantu. Mantri hanya datang 3 bulan sekali, sekali datang seminggu lalu kembali menghilang. Ketika masyarakat Mosso sakit terpaksa mereka hanya menatap bangunan berhantu itu dengan menahan rasa sakit di organ tubuh mereka.

Faktor itu, akhirnya masyarakat terpaksa berobat di PNG, meskipun biaya kesehatan di PNG sangatlah mahal karena menyesuaikan kurs kina, demi kesembuhan anak-anaknya mereka tidak ada pilihan lain.  Masyarakat Mosso hidup tidak sehat, air yang menjadi kebutuhan utama mereka dapatkan dengan menggali tanah, warna air kurang lebih sama dengan warna sungai di bawah jembatan, coklat.

Cerita sedih Mosso akhirnya terputus ketika kekaguman mataku melihat pemandangan indah dari pacaran cahaya matahari menyilaukan telaga yang sunyi. Terputus bukan berarti itu cerita akhir. Miris, mereka harus hidup bersama kenangan kelam masa lalu, kini mereka harus membangun kembali kehidupan yang dulu pernah dihancurkan tanpa menyisakan kepingan untuk mereka kembali bernafas.

*Artikel ini terbit di koran Sinar Harapan, Jakarta.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *