
Di sepanjang jalur Daendels, sebuah Vespa klasik tahun ’63 melaju pelan, suaranya khas serak, panjangnya 1000 km yang membentang Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo, Jawa Timur). Di atas motor itu, musisi indie Iksan Skuter duduk santai, menembus angin, debu, dan gegap gempita hidup. Bukan hanya sedang tur musik, ia sedang menapaki perjalanan panjang yang ia sebut sebagai “perlawanan yang kekinian.”
Perjalanan ini tidak biasa. Iksan menggelar tur bertajuk Daendels Tour 2025. Vespa tua Iksan meneguk bensin hasil olahan limbah plastik produk teknologi alternatif dari Get Plastic yang sejak awal menyokong perjalanan ini. Dari Anyer menuju titik demi titik , ia singgah, bernyanyi menyapa pendengarnya yang berada di kota-kota kecil, bercerita tentang alam, dan menyerap pelajaran hidup yang ia temukan dalam perjalanannya.
“Ini titik ke-16,” katanya sambil tersenyum kecil. “Kalau lewat tol itu, banyak momen terlewat.” Ceritanya ketika Ikhsan singgah di Warung Smeleh, Surabaya, Jawa Timur.
Iksan yang berasal dari Kota Malang yang kini menetap di Yogyakarta sedang menelusuri jejak sejarah yang pernah ia baca di dalam buku pelajaran, ia bisa melihat secarang langsung. Seperti pohon asem yang dulu ditanam ribuan, sekarang tinggal sebagian. Pelebaran jalan memakannya selebar itu. Ia mengucapkannya tanpa keluhan. Lebih seperti seseorang yang menemukan potongan puzzle yang selama ini hilang.
Bensin dari Sampah
Pesan perjalanan yang dibawa Iksan membuktikan bahwa sampah plastik bisa menjadi energi. Bahwa ada teknologi alternatif yang seharusnya tidak dibiarkan berjalan sendirian.
“Tanya aja siapa yang paling takut kalau energi alternatif ini berhasil?” katanya sambil tertawa. “Pemain lama. Yang pegang pasar bahan bakar hari ini.”
Namun, ia tidak sedang mengkampanyekan bensin ajaib itu dengan propaganda. Baginya, kolaborasi lewat musik jauh lebih elegan. Musik membuat orang mendengar tanpa merasa digurui. Membuka pintu tanpa mengetuk terlalu keras.
“Ini opsional,” ujarnya. “Nggak memaksa. Tapi kelihatannya lebih efektif.”
Ia berharap suatu saat tur seperti ini bisa dilakukan banyak musisi dengan membawa mesin kecil hasil olahan plastik, membakar sampah yang dihasilkan panggung, dan menunjukkan langsung bahwa ini bukan imajinasi.
“Kita ini butuh bukti konkret. Bukan wacana.”
Antara Panggung Besar dan Lalapan Lamongan
Dari ratusan penonton dari Anyer sampai Panarukan, Iksan keluar ke jalan, menghidupkan Vespa tuanya, lalu kembali menjadi manusia biasa. Itulah bagian yang paling ia sukai dari perjalanan ini yaitu keseimbangan.
“Di atas panggung, seolah aku mewakili mereka,” ceritanya. “Tapi saat turun, aku cuma orang yang lapar, mampir ke lalapan lamongan, beli burung dara goreng.”
Di warung sederhana itu, tidak ada yang peduli berapa follower-nya, berapa penonton konsernya, atau berapa juta stream lagunya. Di sana, ia setara seperti lainnya. “Dan itu melegakan,” katanya
Doa-Doa Kecil
Vespa itu ia dapat dari seseorang di Jember. Meski sudah uzur, ia sudah seperti teman perjalanan. Bersama, mereka menyusuri jalan panjang yang penuh kejutan truk raksasa, jalan berlubang, hujan, angin, dan kemurahan hati orang-orang yang ditemuinya.
“Semoga tidak bermasalah. Temani aku cari nafkah untuk anak istriku.” Doa Iksan setiap men-stater Vespanya.
Kebaikan itu muncul di banyak titik. Ada yang memberi tempat singgah, ada yang bantu memperbaiki mesin, ada yang sekadar memberi arah jalan. Semuanya menjadi kisah yang memperkaya perjalanan turnya.
Melawan Sistem, Industri, dan Diri Sendiri
Tur ini bukan hanya perjalanan fisik. Ini adalah cara Iksan memunggungi industri musik besar yang pernah membuatnya “tersesat” selama lima tahun.
“Di Jakarta dulu aku seperti mesin. Lagu harus mengikuti pasar. Sikap di panggung diatur. Pendapat dibatasi.”
Kali ini ia berjalan ke arah berlawanan. Bukan ke Jakarta, tapi “ngetan”ke timur. Masuk ke kota-kota yang tak pernah disapa industri besar seperti Demak dan kota kecil lainnya.
“Kalau kita kalah, setidaknya kalah karena melawan bukan karena diam,” ujarnya.
Menjadi Dokumentasi, Menjadi Lagu, Menjadi Harapan
Perjalanan ini tidak berhenti di panggung. Ia merekam semuanya. Akan ada film. Akan ada catatan. Mungkin juga ada lagu baru yang lahir dari Daendels atau dari burung dara goreng di warung pinggir jalan.
Yang jelas, perjalanan ini adalah wujud dari perlawanan yang nyata.
Selama Vespa tua itu masih bisa distarter, selama mesin Get Plastic masih bisa mengubah sampah menjadi energi, selama jalan masih menunggu untuk disusuri, Iksan Skuter akan terus melaju.
