Di sebuah rumah sederhana di Kediri, waktu seakan mengalir lebih lambat. Di sana, seorang anak lelaki tumbuh dalam kebiasaan membaca yang nyaris sakral. Di sudut ruang tamu, selalu ada majalah Intisari, koran Kompas, Surabaya Post, hingga majalah Hai berserakan menjadi teman sehari-hari yang tak pernah usai dibaca. Anak itu adalah Candra Gautama. Mungkin saat itu ia belum tahu, bahwa dirinya tengah menapaki jalan yang akan membawanya pada dunia literasi dan kebudayaan Indonesia.
“Di rumah, membaca itu seperti makan. Tak perlu disuruh. Dan yang paling membekas, pendapat anak tak pernah disepelekan. Kami bisa mendebat orangtua dengan argumen, dan itu dianggap penting,” kenang Candra.
Namun perjalanan menuju dunia menulis tidak serta-merta terang. Di bangku SMA 1 Kediri, ada satu kenangan yang mengubah hidupnya. Ia menulis esai pertamanya berjudul BLEK, sebuah protes halus terhadap guru agama yang terlalu keras dalam mendisiplinkan siswa. Ia kirimkan tulisan itu ke buletin alumni SMA di Bandung. Hanya satu orang yang memberi komentar Pak Asrul, guru Bahasa Indonesia. Sebuah acungan jempol. Sederhana, tapi cukup untuk membakar keyakinan.
“Itu pujian pertama yang membuat saya percaya diri untuk menulis.”
Pak Asrul bukan hanya guru, tapi penunjuk jalan. Ia membuka cakrawala murid-muridnya melalui teater, sastra, dan perbincangan yang menggugah akal dan perasaan. Ia tidak pernah menyuruh, hanya menyalakan cahaya membiarkan anak-anak yang berpikir untuk menemukan jalannya sendiri.
Cita-cita Candra semula adalah menjadi wartawan. Kecintaan pada bacaan membawanya ke jurusan Sosiologi FISIPOL UGM. Di sana, ia tenggelam dalam literatur sastra dan ilmu sosial. Meski skripsinya rampung dalam sembilan tahun, justru lewat proses panjang itulah ia menemukan jalan hidupnya. Penelitiannya tentang kepercayaan lokal diterbitkan di Majalah Matra. Dari sanalah ia bertemu dengan Kompas dan kemudian bergabung dalam proyek besar Menjadi Indonesia, proyek 50 tahun kemerdekaan Indonesia.
Namun, takdir membawanya lebih jauh. Setelah proyek itu usai, Candra bergabung dengan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Sejak 1998, ia mendedikasikan diri sebagai editor. Bukan sekadar menyunting, tapi memilih, menimbang, dan menerbitkan gagasan-gagasan besar untuk memperkaya cara bangsa ini berpikir.
Salah satu momen penting dalam kariernya adalah ketika ia ngotot agar KPG menerbitkan novel Saman karya Ayu Utami. Kala itu, belum banyak yang yakin sastra bisa menjual. “Waktu itu saya dibilang, siapa yang mau beli sastra? Tapi saya percaya, ini penting untuk Indonesia.” Dan terbukti Saman meledak. Buku itu jadi titik balik sastra kontemporer Indonesia.
Dari sana, langkah demi langkah dijalani. Buku demi buku diterbitkan. Dari novel, filsafat, hingga sejarah. Namun Candra tidak berhenti hanya di halaman buku. Ia menggagas gerakan budaya #RepaintIndonesia, yang membawa lima nilai utama yaitu memuliakan kehidupan, keragaman, kerja, pengetahuan, dan kreativitas. Melalui kerja-kerja kebudayaan yang membumi soal biodiversitas, pangan lokal, UMKM, hingga kesehatan.
“#RepaintIndonesia adalah semacam tekad kolektif. Kita mau Indonesia yang lebih baik, ya kita rawat sendiri. Lewat apa pun yang kita bisa. Saya lewat huruf dan hati.”
Kerja Kebudayaan di Negeri Silang Budaya
Satu sore yang teduh, di antara tumpukan manuskrip dan buku-buku tua, Candra Gautama membuka memori awalnya ketika menjadi editor muda di Komunitas Bambu. Kala itu, ia tengah bergulat dengan naskah-naskah besar dan ide-ide yang tak selalu disukai pasar. Buku Saman hanyalah permulaan. Menyusul kemudian buku-buku seperti JAPOBE dan Masked Mamo: Wangsit Serta Pembantaian 65.
Cover buku Palu Arit di Ladang Tebu jadi momen penting. Desain yang menampilkan simbol palu arit di tengah ladang, mengguncang redaksi Kompas. “Perusahaan-perusahaan besar mudah goyah jika menyentuh simbol. Maka kami sowan ke Jakop Oetama untuk meminta restu.” Pesannya, “Silakan, tapi pikirkan konsekuensinya. Apa yang akan terjadi jika ini diterbitakan.”
Akhirnya diterbitkan. Judul tetap sama cover diganti. Bagi Candra, itu awal yang sangat berkesan sebagai editor di Balai Pustaka. Keberanian, bagi Candra, adalah bagian dari kerja literasi.
“Kebudayaan itu bukan benda mati,” ujarnya pelan. “Ia adalah interaksi yang hidup, antara manusia dengan geografisnya, dengan pengetahuan, dengan sesama.”
Baginya, kerja kebudayaan hanya mungkin dilakukan jika kita menerima kenyataan, Indonesia adalah negeri silang budaya. Tak ada yang murni. Tak ada yang sepenuhnya pribumi atau asing. Semua lahir dari kawin silang Arab, Cina, India, dan Nusantara.
“Kalau tidak menyadari itu,” katanya lirih, “kita tidak akan pernah benar-benar mengeja apa itu Indonesia.”
Kerja kebudayaan, dalam pandangannya, adalah sikap mental. Refleksi terhadap apa yang kita bayangkan tentang bangsa ini. Sebagaimana Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai entitas yang “dibayangkan,” Candra menambahkan bahwa bangsa ini harus terus diciptakan ulang oleh imajinasi warga negaranya.
Ia menyebut nama Mochtar Lubis dan para pemikir Angkatan 50 sebagai contoh. Mereka tak hanya mewarisi masa lalu, tapi menciptakan nilai-nilai masa depan.
Namun, dua dekade terakhir membuatnya khawatir. Ia menyebutnya “kemiskinan imajinasi.” Terlihat dari skripsi yang membosankan, sastra yang mandek, dan diskusi publik yang tumpul.
“Bangsa ini sedang mengalami kemiskinan imajinasi,” ujarnya getir. “Kita tak lagi membaca, tak lagi membiasakan diri bertanya. Kita kehilangan rasa ingin tahu.”
Candra tidak menyalahkan individu, tapi menyoroti sistem pendidikan. Sistem yang tak mendorong anak-anak untuk bertanya, untuk berpikir kritis. Bahkan dalam agama, kita diajak menerima, bukan merenung.
“Kalau kamu tidak bertanya,” katanya, “kamu tidak akan pernah benar-benar tahu apa yang kamu yakini.”
Ia percaya, sastra adalah salah satu jalan kembali. “Kalau kamu membaca banyak,” katanya, “kamu akan berpikir lebih luas. Dan kalau kamu bertanya lebih banyak, kamu akan menjadi manusia yang utuh.”
Dalam Sunyi yang Menyala
Dalam dunia yang kian riuh, Candra Gautama memilih jalan yang sunyi. Sebuah kesunyian yang melahirkan makna. Ia menulis, menyunting, menerbitkan, dan menggagas gerakan budaya bukan demi popularitas. Tapi demi satu hal, merawat Indonesia.
Bagi Candra, mencintai Indonesia tak selalu berarti berteriak di jalan atau mengangkat senjata. Kadang, cukup dengan mengangkat pena. Dengan menyunting kalimat demi kalimat yang akan mempengaruhi cara kita berpikir. Dengan membiarkan buku-buku menyusup ke ruang-ruang batin anak bangsa.
Ia bukan pahlawan yang dielu-elukan. Tapi ia adalah penyala api kecil, yang sabar menjaga nyala agar tak padam.
Dan mungkin, dalam kesunyian semacam itulah bangsa ini benar-benar dirawat.
Lewat huruf. Lewat hati.
Di sebuah rumah sederhana di Kediri, waktu seakan mengalir lebih lambat. Di sana, seorang anak lelaki tumbuh dalam kebiasaan membaca yang nyaris sakral. Di sudut ruang tamu, selalu ada majalah Intisari, koran Kompas, Surabaya Post, hingga majalah Hai berserakan menjadi teman sehari-hari yang tak pernah usai dibaca. Anak itu adalah Candra Gautama. Mungkin saat itu ia belum tahu, bahwa dirinya tengah menapaki jalan sunyi yang akan membawanya pada dunia literasi dan kebudayaan Indonesia.
“Di rumah, membaca itu seperti makan. Tak perlu disuruh. Dan yang paling membekas, pendapat anak tak pernah disepelekan. Kami bisa mendebat orangtua dengan argumen, dan itu dianggap penting,” kenang Candra.
Namun perjalanan menuju dunia menulis tidak serta-merta terang. Di bangku SMA 1 Kediri, ada satu kenangan yang mengubah hidupnya. Ia menulis esai pertamanya berjudul BLEK, sebuah protes halus terhadap guru agama yang terlalu keras dalam mendisiplinkan siswa. Ia kirimkan tulisan itu ke buletin alumni SMA di Bandung. Hanya satu orang yang memberi komentar Pak Asrul, guru Bahasa Indonesia. Sebuah acungan jempol. Sederhana, tapi cukup untuk membakar keyakinan.
“Itu pujian pertama yang membuat saya percaya diri untuk menulis.”
Pak Asrul bukan hanya guru, tapi penunjuk jalan. Ia membuka cakrawala murid-muridnya melalui teater, sastra, dan perbincangan yang menggugah akal dan perasaan. Ia tidak pernah menyuruh, hanya menyalakan cahaya membiarkan anak-anak yang berpikir untuk menemukan jalannya sendiri.
Cita-cita Candra semula adalah menjadi wartawan. Kecintaan pada bacaan membawanya ke jurusan Sosiologi FISIPOL UGM. Di sana, ia tenggelam dalam literatur sastra dan ilmu sosial. Meski skripsinya rampung dalam sembilan tahun, justru lewat proses panjang itulah ia menemukan jalan hidupnya. Penelitiannya tentang kepercayaan lokal diterbitkan di Majalah Matra. Dari sanalah ia bertemu dengan Kompas dan kemudian bergabung dalam proyek besar Menjadi Indonesia, proyek 50 tahun kemerdekaan Indonesia.
Namun, takdir membawanya lebih jauh. Setelah proyek itu usai, Candra bergabung dengan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Sejak 1998, ia mendedikasikan diri sebagai editor. Bukan sekadar menyunting, tapi memilih, menimbang, dan menerbitkan gagasan-gagasan besar untuk memperkaya cara bangsa ini berpikir.
Salah satu momen penting dalam kariernya adalah ketika ia ngotot agar KPG menerbitkan novel Saman karya Ayu Utami. Kala itu, belum banyak yang yakin sastra bisa menjual. “Waktu itu saya dibilang, siapa yang mau beli sastra? Tapi saya percaya, ini penting untuk Indonesia.” Dan terbukti Saman meledak. Buku itu jadi titik balik sastra kontemporer Indonesia.
Dari sana, langkah demi langkah dijalani. Buku demi buku diterbitkan. Dari novel, filsafat, hingga sejarah. Namun Candra tidak berhenti hanya di halaman buku. Ia menggagas gerakan budaya #RepaintIndonesia, yang membawa lima nilai utama yaitu memuliakan kehidupan, keragaman, kerja, pengetahuan, dan kreativitas. Melalui kerja-kerja kebudayaan yang membumi soal biodiversitas, pangan lokal, UMKM, hingga kesehatan.
“#RepaintIndonesia adalah semacam tekad kolektif. Kita mau Indonesia yang lebih baik, ya kita rawat sendiri. Lewat apa pun yang kita bisa. Saya lewat huruf dan hati.”
Kerja Kebudayaan di Negeri Silang Budaya
Satu sore yang teduh, di antara tumpukan manuskrip dan buku-buku tua, Candra Gautama membuka memori awalnya ketika menjadi editor muda di Komunitas Bambu. Kala itu, ia tengah bergulat dengan naskah-naskah besar dan ide-ide yang tak selalu disukai pasar. Buku Saman hanyalah permulaan. Menyusul kemudian buku-buku seperti JAPOBE dan Masked Mamo: Wangsit Serta Pembantaian 65.
Cover buku Palu Arit di Ladang Tebu jadi momen penting. Desain yang menampilkan simbol palu arit di tengah ladang, mengguncang redaksi Kompas. “Perusahaan-perusahaan besar mudah goyah jika menyentuh simbol. Maka kami sowan ke Jakop Oetama untuk meminta restu.” Pesannya, “Silakan, tapi pikirkan konsekuensinya. Apa yang akan terjadi jika ini diterbitakan.”
Akhirnya diterbitkan. Judul tetap sama cover diganti. Bagi Candra, itu awal yang sangat berkesan sebagai editor di Balai Pustaka. Keberanian, bagi Candra, adalah bagian dari kerja literasi.
“Kebudayaan itu bukan benda mati,” ujarnya pelan. “Ia adalah interaksi yang hidup, antara manusia dengan geografisnya, dengan pengetahuan, dengan sesama.”
Baginya, kerja kebudayaan hanya mungkin dilakukan jika kita menerima kenyataan, Indonesia adalah negeri silang budaya. Tak ada yang murni. Tak ada yang sepenuhnya pribumi atau asing. Semua lahir dari kawin silang Arab, Cina, India, dan Nusantara.
“Kalau tidak menyadari itu,” katanya lirih, “kita tidak akan pernah benar-benar mengeja apa itu Indonesia.”
Kerja kebudayaan, dalam pandangannya, adalah sikap mental. Refleksi terhadap apa yang kita bayangkan tentang bangsa ini. Sebagaimana Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai entitas yang “dibayangkan,” Candra menambahkan bahwa bangsa ini harus terus diciptakan ulang oleh imajinasi warga negaranya.
Ia menyebut nama Mochtar Lubis dan para pemikir Angkatan 50 sebagai contoh. Mereka tak hanya mewarisi masa lalu, tapi menciptakan nilai-nilai masa depan.
Namun, dua dekade terakhir membuatnya khawatir. Ia menyebutnya “kemiskinan imajinasi.” Terlihat dari skripsi yang membosankan, sastra yang mandek, dan diskusi publik yang tumpul.
“Bangsa ini sedang mengalami kemiskinan imajinasi,” ujarnya getir. “Kita tak lagi membaca, tak lagi membiasakan diri bertanya. Kita kehilangan rasa ingin tahu.”
Candra tidak menyalahkan individu, tapi menyoroti sistem pendidikan. Sistem yang tak mendorong anak-anak untuk bertanya, untuk berpikir kritis. Bahkan dalam agama, kita diajak menerima, bukan merenung.
“Kalau kamu tidak bertanya,” katanya, “kamu tidak akan pernah benar-benar tahu apa yang kamu yakini.”
Ia percaya, sastra adalah salah satu jalan kembali. “Kalau kamu membaca banyak,” katanya, “kamu akan berpikir lebih luas. Dan kalau kamu bertanya lebih banyak, kamu akan menjadi manusia yang utuh.”
Dalam Sunyi yang Menyala
Di tengah dunia yang semakin riuh, Candra Gautama memilih fokus pada hal-hal yang bermakna. Ia menulis, menyunting, menerbitkan, dan menggagas gerakan budaya bukan demi popularitas, tetapi demi satu tujuan yaitu merawat Indonesia.
Bagi Candra, mencintai Indonesia tak selalu berarti berteriak di jalan atau mengangkat senjata. Kadang, cukup dengan mengangkat pena. Dengan menyunting kalimat demi kalimat yang akan mempengaruhi cara kita berpikir. Dengan membiarkan buku-buku menyusup ke ruang-ruang batin anak bangsa.
Lewat huruf. Lewat hati.
