Indonesia Menuju ke Diktator Militer

Ilustrasi: Cak Su

28 Maret 2025 – Raka, driver ojek online, mengatakan bahwa dia mengalami nasib sial saat berada di lokasi demonstrasi tolak perubahan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 atau RUU TNI di depan gedung DPR Jakarta minggu lalu. “Gue ditanya, ‘Kamu mahasiswa ya?’ gitu. Gue jawab bukan, (polisi) langsung datang semua. Langsung dipaksa buat ngomong kalau gue mahasiswa,” ujar Raka.

Tiga mahasiswa di Semarang mengalami luka-luka saat mereka melakukan aksi tersmaebut sementara belasan mahasiswa di kota-kota lain ditahan dan banyak yang harus dilarikan ke rumah sakit. RUU itu mendapatkan penolakan keras dari publik karena dianggap menghidupkan kembali wacana laten dwifungsi ABRI yang sudah dihapus setelah reformasi 1998.

Organisasi masyarakat sipil hingga akademisi ramai-ramai menolak revisi UU yang saat itu sedang dibahas di DPR. Tanpa mengindahkan pendapat masyarakat, RUU itu ditetapkan menjadi Undang-Undang. Salah satu isi Undang-Undang itu adalah, menambah jumlah institusi yang bisa ditempati oleh prajurit aktif TNI dari 10 menjadi 16, diantaranya adalah: Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Perluasan peran TNI di sektor sipil menunjukkan terjadinya perluasan peran militer dalam pemerintahan sipil. Hal ini dinilai sebagai upaya memperkuat koordinasi di bidang keamanan nasional dan tanggap darurat, terutama pada institusi seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Al Araf, peniliti Imparsial, mengkhawatirkan bahwa revisi ini membuka kembali ruang bagi dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru. Menurutnya, tugas utama TNI adalah dalam bidang pertahanan, bukan mengisi jabatan-jabatan sipil yang dapat mengaburkan peran militer dan pemerintahan. Terlebih lagi hasil revisi tersebut akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.

Selain itu pada Pasal 7 UU TNI 2025 tentang Tambahan Tugas Operasi Militer, tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) mengalami perubahan dengan adanya dua tugas baru. Sebelumnya terdapat 14 tugas, kini bertambah menjadi 16 tugas. Dua tambahan tugas baru tersebut adalah: menanggulangi ancaman pertahanan siber, dan melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri, termasuk evakuasi dalam kondisi darurat.

Khusus untuk ancaman pertahanan siber, kita perlu waspada akan penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepada TNI lewat UU TNI yang barusan disahkan itu. Dan TNI sudah menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan operasi informasi dan disinformasi untuk menanggulangi ancaman kedaulatan negara di ruang siber. Operasi itu menargetkan mereka yang memiliki motif melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah.

Sementara itu, Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan bahwa revisi UU TNI dilakukan untuk menghadapi ancaman akibat dinamika geopolitik, perkembangan teknologi militer global, mengharuskan TNI untuk bertransformasi untuk mendukung geostrategi negara yang realistis guna menghadapi ancaman konvensional maupun non-konvensional. 

Sebetulnya apa yang menjadi alasan utama dari revisi Undang-Undang TNI ini? Alasan utamanya, menurut saya, adalah untuk menjaga stabilitas keamanan nasional, agar sistem kapitalisme di Indonesia bisa berjalan dengan efisien: profit bisa lebih maksimal dan  eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja lebih mudah dilakukan ditengah situasi ekonomi global yang stagnan. Pengesahan UU TNI yang baru membuktikan bahwa Indonesia kembali ke masa Orde Baru, otoriter militer, dimana stabilitas keamanan benar-benar dijaga dan kebebasan berpendapat dibatasi bahkan dibungkam.

Demokrasi liberal yang dinikmati masyarakat sejak Reformasi, berubah menjadi kediktatoran kapitalisme (authoritarian capitalism). Sebuah sistem dimana persaingan bebas (laissez faire) masih terjaga, disaat yang sama terjadi kediktatoran dan kekuasaan terkonsentrasi pada sekelompok kecil elit.

Ada beberapa negara yang menganut model ini, seperti China dan Rusia. Yang membedakan Indonesia dengan negara-negara itu adalah, pemimpin negara (elit politik) di China dan Rusia tidak ikut berbisnis, sedangkan di Indonesia, Prabowo dan Gibran adalah bagian dari kelas kapitalis dan memiliki bisnis diberbagai sektor. Misalnya Prabowo memiliki perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan kertas (PT Kiani Kertas), pertambangan batu bara (PT Nusantara Energy) sampai perkebunan kelapa sawit. Sementara Gibran memiliki perusahaan yang bergerak di bidang properti dan kuliner, seperti PT MGP, Chili Pari dan Gandeng Tangan. 

Kalau kita tengok kebelakang sebetulnya yang dilakukan oleh Prabowo hari ini (mengembalikan Indonesia menjadi otoriter) dengan merivisi Undang-Undang TNI yang didukung oleh para politisi borjuis di gedung DPR minggu lalu adalah penyempurnaan proses yang dimulai oleh rezim Jokowi berupa pembodohan masyarakat dan pengembalian anggota TNI aktif ke ranah sipil. Penunjukan anggota POLRI/TNI aktif menjadi Pejabat Gubernur, Bupati dsb sebelum berlangsunganya Pemilu 2024 lalu oleh Jokowi adalah bukti proses kembalinya dwifungsi ABRI.

Tekanan struktural sistem kapitalisme dari logika akumulasi kapital membuat  Prabowo merivisi UU TNI. Dengan melibatkan anggota TNI di ranah sipil, maka Prabowo akan mudah untuk menekan bahkan menyingkirkan gangguan keamanan yang berpotensi menggangu pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Sejak tahun 2020  Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya tren meningkatnya konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya pada tahun 2024, tercatat 295 kasus dengan luas lahan terdampak 1,1 juta hektar, melibatkan 67.436 keluarga di 34 provinsi. Angka ini meningkat 21% dibanding tahun 2023 (241 kasus). Sektor perkebunan, infrastruktur, dan pertambangan menjadi penyumbang utama, dengan perkebunan sawit menyumbang 67% konflik di sektor perkebunan

Meskipun demikian, respon pasar terhadap pengesahaan UU TNI ini buruk. Hal ini dibuktikan dengan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan berada berada di zona merah pada penutupan perdagangan sesi pertama Jumat lalu. IHSG turun 136,52 poin (2,14 persen) ke level 6.245,14. Sejak awal sesi pertama perdagangan, IHSG langsung terkoresi ke zona merah.

Ketidakstabilan keamanan dan pemerintahan pada rezim Sukarno adalah salah satu alasan utama munculnya ide dwifungsi ABRI oleh Mayor Jenderal Haris Nasution, Kepala Staff Angkatan Darat, pada tahun 1966. Pada saat Indonesia menganut sistem parlementer tahun 1950-an, banyak kabinet pemerintah yang jatuh dan berkuasa hanya dalam beberapa bulan seperti, Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952), dan Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953). Menurut Nasution Angkatan Darat memiliki dua fungsi: sebagai kekuatan militer dan kekuatan sosial politik. Sebagai kekuatan politik Angkatan Darat memiliki kegiatan yang berhubungan dengan bidang idelogi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama.  

Pasca dijatuhkannya Sukarno oleh Suharto pada tahun 1965, Amerika Serikat melihat potensi peranan Angkatan Darat untuk terlibat dalam liberalisasi ekonomi Indonesia dan memastikan Indonesia berada dibawah kontrol Amerika Serikat.

Setelah transfer kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, Amerika Serikat memulai kembali memberikan bantuan kepada Indonesia yang sempat dihentikan saat Sukarno berkuasa, karena kedekatannya dengan Uni Soviet. Untuk itu Badan Perencanaan dan Kebijakan dibawah Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat membuat draft kebijakan bantuan, disaat yang sama mereka tahu persis kondisi sosial dan ekonomi Indonesia serta masalahnya, seperti yang dikutip oleh Bradley Simpson dalam bukunya Economists with Guns:

“Indonesia adalah sebuah negara yang tergantung dengan negara yang lebih besar dalam hal ekonomi, politik dan militer (clientele state) sistem oligarki yang terstruktur sejak kemerdekaan untuk melayani kepentingan para elite sementara masyarakatnya terabaikan. Para elit yang mendominasi pemerintahan (politisi, birokrat pemerintah, militer dan bisnis) dimana militer memiliki posisi yang paling kuat, melihat bantuan yang akan diberikan tidak untuk kepentingan nasional tapi untuk kepentingan mereka sendiri. Nepotisme dan korupsi sudah sangat parah menjadi bagian struktur masyarakat dan pemerintahan. Yang Washington bisa lakukan adalah membiarkan situasi ini berlangsung dan kalau memungkinkan kita gunakan untuk kepentingan kita.”

Meskipun masalah korupsi dan nepotisme masih berlangsung sampai sekarang, Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2045, dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan potensi bonus demografi.

Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2024 tumbuh sebesar 5,03%, sedikit melambat dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 5,05%. Dan dari jumlah penerimaan pajak negara, per November 2024, industry pengolahan menjadi penyumbang terbesar pajak nasional dengan kontribusi 25,4% atau sekitar Rp411,74 triliun. Sektor ini mencakup industri seperti kelapa sawit, logam, dan pupuk. Sektor perdagangan berada di urutan kedua, menyumbang sekitar 25,76% terhadap penerimaan pajak nasional atau sekira Rp410,44 triliun

Selain permasalahan tidak adanya industri dengan teknologi canggih, kesenjangan ekonomi di Indonesia antara si kaya dan si miskin cukup lebar. Hal ini membuat hubungan antara kedua golongan masyarakat itu menjadi timpang. Ini membuktikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan sejak Orde Baru sampai sekarang hanya menguntungkan segelintir kecil lapisan atas masyarakat Indonesia. Ekses dari ketimpangan sosial ini adalah munculnya masalah sosial seperti kekerasan Hak Asasi Manusia, diskriminasi hukum disamping menebalnya budaya patron-client. 

Karena tidak adanya sebuah partai kiri yang bisa menjadi penuntun arah perjuangan dan ikut menyelesaikan semua permasalahan diatas, rakyat dan kebanyakan aktivis politik menggantungkan pada elit politik dan negara untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Absennya partai alternatif ini juga menyebabkan aksi-aksi demonstrasi yang sering dimotori oleh mahasiswa terjebak pada isu yang ada pada permukaan, bukan masalah yang sebenarnya: penindasan kelas yang berkuasa terhadap rakyat yang mereka kuasai.

Dalam relasi kuasa dalam sistem kapitalisme, negara bukanlah sebuah lembaga yang netral (seperti kebanyakan masyarakat pahami), melainkan sebuah produk transformasi sosial untuk melayani kepentingan kelas penguasa. Engels melihat peranan negara sebagai alat untuk memproteksi kepentingan pemilik property dan mengatur masyarakat. 

Louis Althusser, filosof Perancis dan aktifis kiri, dalam essaynya Ideology and Ideological State Apparatuses, menjelaskan akan penguasaan rakyat lewat penindasan oleh apartaus negara: Aparat represif negara berfungsi untuk mendominasi kelas pekerja. Mereka (pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara) akan melakukan intervensi untuk kepentingan kelas berkuasa dengan merepresi kelas yang tersubordinasi dengan menggunakan kekerasan atau alat penekan lainnya. Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang TNI yang baru disahkan adalah alat legitimasi kelas berkuasa dalam menggunakan anggota TNI menekan mereka yang melawan rezim.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa anggota angkatan bersenjata dan polisi adalah aparatus negara yang berfungsi untuk merepresi rakyat yang menentang sistem kapitalisme. Untuk itu aktivis politik Indonesia harus mulai menuntut sebuah sistem ekonomi alternatif, sebuah sistem yang adil, dan mereka yang tertindas bisa berkuasa.   

*Convener Simpul Salatiga study club

Referensi

Althusser, Louis, 1970, Ideology and Ideological State Apparatuses dalam “Lenin and Philosophy” and Other Essays

Simpson, Bradley R, 2008, Economists with Guns, Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968.

https://megapolitan.kompas.com/read/2025/03/20/21571141/diduga-dikeroyok-polisi-pria-yang-mengaku-ojol-dituduh-sebagai-mahasiswa.
https://nasional.kompas.com/read/2024/06/07/20374301/klaim-panglima-tni-multifungsi-dikhawatirkan-jadi-kedok-dwifungsi
https://www.tempo.co/politik/menteri-pertahanan-klaim-uu-tni-mengatur-profesionalisme-prajurit-1222050
https://money.kompas.com/read/2025/03/21/135300426/pengamat–pengesahan-revisi-uu-tni-beri-sentimen-negatif-untuk-pasar-modal?page=all
https://www.tempo.co/politik/kemenhan-operasi-informasi-di-ruang-siber-targetkan-pihak-yang-ancam-kedaulatan-bangsa-1224326
https://klikpajak.id/blog/sektor-penyumbang-pajak-terbesar-indonesia

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *