
Misbach Tamrin bukan sekadar pelukis. Ia adalah saksi sejarah, pejuang seni yang menorehkan perlawanan melalui sapuan kuasnya. Lahir di Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 25 Agustus 1941, perjalanan seninya berkelindan erat dengan gejolak sosial-politik Indonesia.
Dari Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Sanggar Bumi Tarung pada 1961, sebuah ruang ekspresi bagi seniman yang berpihak pada kaum jelata. Lewat lukisan dan patungnya, ia merekam denyut kehidupan rakyat, patriotisme, revolusi, hingga peristiwa sejarah. Sanggar ini lahir dari semangat perjuangan dan keyakinan bahwa seni dapat menjadi alat perlawanan terhadap ketidakadilan. Bumi Tarung bukan sekadar wadah berkarya, tetapi juga tempat bertukar gagasan dan menyuarakan keresahan sosial melalui seni rupa.
Karya Misbach tak hanya tampil di pameran nasional, tetapi juga mengarungi lautan dalam pameran terapung di atas kapal “Tampomas” ke berbagai negara Asia-Pasifik pada 1962. Namun, sejarah berbelok tajam. Keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) membuatnya menjadi korban gelombang represi pasca-1965. Ia ditangkap dan dipenjara selama 13 tahun, sebagian besar karyanya hilang, namun semangatnya tak padam. Keluar dari penjara, ia kembali ke kanvas, melanjutkan perlawanan lewat seni.
Karya-karyanya monumental, beraliran realisme yang kuat, menggambarkan keteguhan rakyat menghadapi ketidakadilan. Dari “Gejolak Kerja” (1961) yang merayakan semangat buruh, “Bumi Tarung 1965” (2008) yang mengisahkan luka sejarah, hingga “Ibu Pertiwi Menangis” (2011) yang menjadi jeritan nurani bangsa.
Pada 2015, retrospeksi karyanya dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, membuktikan bahwa sejarah tak bisa dilenyapkan. Karyanya pun melanglang buana hingga ke Museum Seni Oriental di Moskow. Misbach Tamrin adalah bukti bahwa seni bukan sekadar keindahan, melainkan suara zaman yang terus menggema.
Namun, usia muda sanggar ini dihadapkan pada badai politik yang begitu besar pasca-peristiwa 30 September 1965. Sebagian besar anggotanya ditangkap dan dipenjara, bahkan ada yang dibuang ke Pulau Buru. Selama Orde Baru, Sanggar Bumi Tarung seolah mati suri, terbungkam oleh represi yang melarang kebebasan berekspresi bagi mereka yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Baru pada masa reformasi, sanggar ini kembali muncul, membawa semangat kebangkitan dalam dunia seni rupa Indonesia.
Karya-karya yang lahir dari Sanggar Bumi Tarung tidak hanya mencerminkan kritik sosial dan politik, tetapi juga mengalami evolusi yang lebih matang. Tak lagi hanya menampilkan realisme yang lugas, tetapi juga metaforis dan kaya akan filosofi. Perjalanan panjang para anggotanya dalam menghadapi ketidakadilan justru membuat mereka semakin tajam dalam merespon peristiwa sejarah dan kemanusiaan melalui seni.
Pameran Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional pada 21 Juni hingga 12 Juli 2024 menjadi sebuah peristiwa istimewa. Ini bukan hanya pameran, tetapi juga sebuah perpisahan. Kini, hanya Misbach Tamrin yang masih bertahan, tetap melukis dan berkarya dengan ingatan yang masih tajam. Sebelumnya, Gumelar adalah satu-satunya anggota lain yang masih hidup, tetapi tahun lalu ia pun menyusul sahabat-sahabatnya yang telah pergi lebih dahulu.
Meski kini hanya Misbach yang tersisa, warisan Sanggar Bumi Tarung akan terus hidup dalam karya-karya yang telah mereka tinggalkan. Seni mereka bukan hanya cerminan sejarah, tetapi juga menjadi bagian dari perlawanan dan keteguhan dalam menghadapi represi. Sejarah akan mengenang mereka bukan hanya sebagai seniman, tetapi sebagai pejuang yang berani mengangkat suara melalui kanvas dan pahatan.
